Tampilkan postingan dengan label Qurban. Tampilkan semua postingan

Menyembelih Kurban Sebelum Pemerintah, Tidak Sah?

Ada seseorang yang melayangkan pertanyaan tentang keabsahan penyembelihan hewan qurban yang mendahului penyembelihan yang dilakukuakn pemerintah, lengkapnya seperti berikut "Jika ada orang berqurban sebelum hari raya yang ditetapkan pemerintah, apakah qurbannya sah? Ada yg bilang gak sah, apa benar?"


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam ibadah jama’i, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar kaum muslimin melaksanakan ibadah ini bersama-sama secara berjamaah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Hari berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa. Hari fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari dimana kalian semua melakukan hari raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari dimana kalian semua merayakan Idul Adha.” (HR. Turmudzi 701, ad-Daruquthni dalam sunannya no. 2206 dan dishahihkan al-Albani).

Kita semua memahami, untuk bisa mewujudkan puasa bersama, hari raya bersama, berarti harus ada pihak yang menyatukan semua suara mereka.

Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang berwenang menyatukan suara itu?

Jika ini dikembalikan kepada ijtihad masing-masing ormas, tentu selamanya tidak akan pernah bisa disatukan. Terlebih ketika mereka memiliki metode penetapan tanggal yang berbeda.

Untuk itu, ibadah yang bersifat jamaah semacam ini, tidak mungkin bisa disatukan, kecuali melalui pemerintah. Karena satu ormas tentu saja tidak mungkin mampu menyatukan suara satu negara, kecuali hanya untuk para anggotanya.


Lebih dari itu, kebiasaan para sahabat, mereka baru menyembelih, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai berkhutbah. Kala itu, posisi beliau sebagai kepala negara.

Ibnu Umar menceritakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْحَرُ، أَوْ يَذْبَحُ بِالْمُصَلَّى

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurban di lapangan tempat shalat id. (HR. Bukhari 982)

Berdasarkan hadis ini, Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

“Yang ideal, hendaknya masyarakat tidak menyembelih, sampai imam menyembelih qurbannya. Jika imam menyembelihnya di lapangan. Dalam rangka meniru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.” (Ahkam al-Udhiyah, hlm. 20)

Menyembelih Qurban Sebelum Pemerintah, Tidak Sah?

Kita simak hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu berikut,

صَلَّى بِنَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ النَّحْرِ بِالْمَدِينَةِ فَتَقَدَّمَ رِجَالٌ فَنَحَرُوا وَظَنُّوا أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ نَحَرَ فَأَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ كَانَ نَحَرَ قَبْلَهُ أَنْ يُعِيدَ بِنَحْرٍ آخَرَ وَلاَ يَنْحَرُوا حَتَّى يَنْحَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat pada idul adha di Madinah. Seusai shalat, tiba-tiba ada beberapa orang yang langsung menuju hewan qurbannya dan langsung disembelih. Mereka mengira, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, “Siapa yang sudah menyembelih sebelum beliau, agar diulangi penyembelihannya dengan hewan yang lain.” Tidak boleh menyembelih sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih. (HR. Ahmad 15139 & Muslim 5195).

Posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini adalah sebagai pemimpin. Beliau membatasi para sahabat, agar qurban mereka dilakukan setelah qurban beliau.

Hadis ini yang menjadi acuan Malikiah untuk mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh berqurban sebelum pemerintah. Jika mereka tinggal bersama imamnya, maka acuannya setelah imam berqurban. Dan jika mereka jauh dari imamnya, maka acuannya setelah selesainya shalat imam.

Dalam kitab al-Mudawwanah,

Sahnun bertanya kepada Ibnul Qosim – murid senior Imam Malik –

قلت: أرأيت الضحية هل تجزئ من ذبحها قبل أن يصلي الإمام في قول مالك؟ قال: لا.

Aku bertanya (kepada Ibnul Qosim), “Apa menurut anda untuk qurban yang disembelih sebelum imam shalat, menurut pendapat Imam Malik, apakah qurbannya sah?” jawab Ibnul Qosim, “Tidak sah.” (al-Mudawwanah, 1/546).

Sahnun bertanya lagi,

قلت: أرأيت أهل البوادي وأهل القرى في هذا سواء؟ قال: سمعت مالكا يقول في أهل القرى الذين ليس لهم إمام: إنهم يتحرون صلاة أقرب الأئمة إليهم وذبحه.

Saya bertanya lagi, “Bagaimana dengan masyarakat pelosok, penduduk kampung, apakah mereka sama?

Jawab Ibnul Qosim,
Aku mendengar Malik menjelaskan tentang penduduk kampung yang tidak memiliki (tinggal bersama) imam, bahwa mereka memperkirakan shalat yang dikerjakan oleh imam terdekat dengannya, lalu dia bisa menyembelihnya. (al-Mudawwanah, 1/546).

Ibnul Qosim juga menegaskan

قال ابن القاسم: فإن تحرى أهل البوادي النحر فأخطئوا فذبحوا قبل الإمام لم أر عليهم إعادة إن تحروا ذلك ورأيت ذلك مجزئا عنهم

Ibnul Qosim mengatakan,
Jika penduduk pelosok sudah berusaha memilih waktu yang tepat untuk menyembelih, namun mereka salah prediksi, sehingga mereka menyembelih sebelum imam shalat, maka menurut saya, tidak perlu diulangi qurbannya, jika sudah berusaha memilih waktu. Dan menurutku, qurbannya sah.
(al-Mudawwanah, 1/546).

Sementara mayoritas ulama mengatakan, yang menjadi acuan waktu awal dalam penyembelihan adalah shalat id yang dikerjakan imam. Dalam Tanwir al-Ainain dinyatakan,

وأن أحمد قال : لا يجوز قبل صلاة الامام ويجوز بعدها قبل ذبح الامام وسواء عنده أهل القرى والأمصار

Imam Ahmad mengatakan, “Tidak boleh menyembelih sebelum shalat id imam dan boleh berqurban setelah shalat id, meskipun imam belum menyembelih qurbannya. Ini berlaku baik penduduk kampung maupun kota.” (Tanwir al-Ainain, hlm. 500)

Untuk itu, dalam rangka menghargai nilai besar ibadah qurban, maka sebisa mungkin ibadah ini dilaksanakan bersama pemerintah, sehingga kita bisa memastikan qurban ini sah.

Allahu a’lam.

oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Mana yang Terbaik, Kurban Sapi Tujuh Orang atau Kambing Sendiri?

Qurban bisa dengan patungan atau urunan Sapi sebanyak tujuh orang, bisa juga dengan kambing untuk satu orang, lalu mana yang lebih afdhal?

Kurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau unta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi [Shahih Fiqh Sunnah, 2:375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 dan Syarhul Mumthi’ 7:458].

Imam As-Saerazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Kambing (sendirian) lebih baik dari pada urunan sapi tujuh orang. Karena orang yang berkurban bisa menumpahkan darah (menyembelih) sendirian.” (Al Muhadzab 1:74].


Di antara alasan lain yang menunjukkan lebih utama kurban sendiri dengan seekor kambing adalah sebagai berikut:

Kurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun unta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 unta (urunan dengan sahabat).

Kegiatan menyembelihnya menjadi lebih banyak. Ada hadis yang menyebutkan keutamaan menumpahkan darah ketika ‘Idul Adha, namun hadisnya lemah.

Ada sebagian ulama yang melarang urunan dalam berkurban, diantaranya adalah Mufti Negeri Saudi, Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa Lajnah Daimah 11:453). Namun pelarangan ini didasari dengan kiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunah, sehingga jelas salahnya. Akan tetapi, berkurban dengan satu ekor binatang utuh, setidaknya akan mengeluarkan kita dari perselisihan ulama.

Allahu a’lam

oleh Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullahu ta'ala

Berqurban dengan Kerbau, Bagaimana Hukumnya?

Kurban Kerbau apakah diperbolehkan dalam Islam? Mari kita simak firman Allah ta’ala berfirman :

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” [QS. Al-Hajj : 28].

http://www.ayat-kursi.com

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [QS. Al-Hajj : 34].

Bahiimatul-an’aam dalam ayat tersebut maknanya (dalam bahasa ‘Arab) adalah domba, sapi, atau onta. Kurban (udlhiyyah) tidaklah sah kecuali dengan tiga jenis binatang ini. Inilah pendapat jumhur ulama [lihat Al-Mughniy 11/99, Al-Ma’uunah 1/658, dan Mukhtashar Ikhtilafil-‘Ulamaa oleh Ath-Thahawiy 3/224]. Sapi dapat dipergunakan sebagai hewan kurban (udlhiyyah). Adapun kerbau, hukumnya disamakan dengan sapi.

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ، عَنْ أَشْعَثَ، عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ الْجَوَامِيسُ فِي مَنْزِلَةِ الْبَقَر

Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Mu’aadz, dari Asy’ats, dari Al-Hasan (Al-Bashriy), bahwasannya ia berkata : “Kerbau kedudukanya sama dengan sapi” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/219; shahih].

وَحَدَّثَنِي ابْنُ بُكَيْرٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، قَالَ: " الْجَوَامِيسُ، وَالْبَقَرُ سَوَاءٌ
Dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Bukair, dari Maalik bin Anas, ia berkata : “Kerbau dan sapi itu sama” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal, 1029; shahih].

Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:

 وأجمعوا على أن حكم الجواميس حكم البقر

“Para ulama sepakat bahwa hukum kerbau sama dengan hukum sapi” [Al-Ijmaa’, 1/45].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:

مَسْأَلَةٌ : قَالَ : ( وَالْجَوَامِيسُ كَغَيْرِهَا مِنْ الْبَقَرِ ) لَا خِلَافَ فِي هَذَا نَعْلَمُهُ .
وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ يُحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى هَذَا ، وَلِأَنَّ الْجَوَامِيسَ مِنْ أَنْوَاعِ الْبَقَرِ

“Permasalahan : ‘Dan kerbau seperti hewan lainnya dari jenis sapi’; tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini sebatas yang kami ketahui. Dan telah berkata Ibnul-Mundzir : ‘Para ulama telah sepakat dalam hal ini, karena kerbau termasuk diantara jenis-jenis sapi” [Al-Mughniy, 2/459].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

والجواميس بمنزلة البقر حكى ابن المنذر فيه الاجماع

“Dan kerbau kedudukannya seperti sapi. Ibnul-Mundzir menghikayatkan adanya ijmaa’ dalam permasalahan itu” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 25/37]. Maka di sini dapat diperoleh satu kesimpulan bahwa diperbolehkan berkurban kerbau, karena kedudukannya disamakan dengan sapi.

Wallaahu a’lam.

oleh Ustadz Abul Jauzaa' hafizhahullahu ta'ala

Larangan Memotong Rambut dan Kuku Bagi Yang Ingin Berqurban

Larangan disampaikan dalam Hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.”[HR Muslim/No 1977]

Dalam lafazh lainnya,

مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ

“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.”[HR Muslim/No 1977]

Maka hadits ini menunjukkan terlarangnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen).


Hadits pertama menunjukkan perintah untuk tidak memotong (rambut dan kuku). Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib ini. Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong (rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang melarang hal ini.

Secara jelas pula, hadits ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.

[Diambil dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal lIfta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427, Darul Ifta’]

Apa yang dimaksud rambut yang tidak boleh dipotong?

Yang dimaksud dengan larangan mencabut kuku dan rambut di sini menurut ulama Syafi’iyah adalah dengan cara memotong, memecahkan atau cara lainnya. Larangan di sini termasuk mencukur habis, memendekkannya, mencabutnya, membakarnya, atau memotongnya dengan bara api. Rambut yang dilrang dipotong tersebut termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan juga rambut yang ada di badan.

Hikmah Larangan

Menurut ulama Syafi’iyah, hikmah larangan di sini adalah agar rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya makin banyak dari anggota tubuh ini terbebas dari api neraka.

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hikmah dari larangan ini adalah agar tasyabbuh (menyerupai) orang yang muhrim (berihrom). Namun hikmah yang satu ini dianggap kurang tepat menurut ulama Syafi’iyah karena orang yang berqurban beda dengan yang muhrim. Orang berqurban masih boleh mendekati istrinya dan masih diperbolehkan menggunakan harum-haruman, pakaian berjahit dan selain itu, berbeda halnya orang yang muhrim.

oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Penjagal Tidak Shalat, Sembelihannya Menjadi Haram

Pastikan, jagal yang akan menyembelih hewan qurban anda melaksanakan shalat.Seperti yang pernah kita bahas, para ulama menegaskan, tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik, dari pada meninggalkan shalat. Dalam dialog dengan penduduk neraka, mereka mengatakan bahwa sebab mereka masuk neraka adalah karena mereka tidak shalat. Allah berfirman,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ . وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

Apa yang menyebabkan kalian masuk ke Saqar (neraka). Mereka menjawab, “dulu kami tidak shalat” ( )dan kami tidak mau memberi makanan kepada orang miskin… (QS. Al-Muddatsir: 42 – 44)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadisnya, menyebut tindakan meninggalkan shalat sebagai perbuatan kekufuran.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim 82).


Dalam hadis lain, dari sahabat Buraidah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, dia telah kafir. (HR. Ahmad 22937, Tirmidzi 2621; dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Masih banyak dalil lain yang menunjukkan betapa bahayanya orang yang meninggalkan shalat.

Ibrahim an-Nakhai mengatakan,

من ترك الصلاة فقد كفر

Orang yang meninggalkan shalat, berarti telah kafir.

Keterangan lain dari Imam Ishaq bin Rahuyah, beliau mengatakan,

صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم أن تارك الصلاة عمداً من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر

Terdapat riwayat shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, dia kafir. Demikian yang dipahami para ulama, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengna sengaja, tanpa udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir. (Ta’dzim Qadri as-Shalah, 2/929)

Bagian dari syarat halal hewan sembelihan, status agama penyembelih harus memenuhi kriteria yang diizinkan syariat. Dalam al-Quran, Allah sebutkan, bahwa orang yang sembelihannya halal, hanya ada 3,

Muslim
Yahudi
Nasrani

Allah berfirman,

أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

Sembelihan orang-orang yang diberi al Kitab itu halal bagimu, dan sembelihan kamu halal (pula) bagi mereka. (QS. al-Maidah: 5)

Dan ahli kitab yang disebutkan dalam al-Quran adalah mereka yang beragama yahudi dan nasrani. Bukan hanya ahli kitab yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun semua ahli kitab yang mengikuti agama yahudi atau nasrani. Karena sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yahudi dan nasrani telah berbuat syirik dan mengatakan Allah punya anak.

Selain dari 3 jenis manusia di atas, sembelihannya tidak halal, seperti sembelihan orang hindu, budha, atheis, termasuk orang muslim yang murtad. Karena orang murtad dihukumi tidak beragama.

Termasuk bentuk murtad, melakukan tindakan yang menyebabkan dirinya keluar dari islam.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut meninggalkan shalat sebagai tindakan kekufuran, maka orang meninggalkan shalat dihukumi murtad. Dan sembelihan orang murtad tidak sah dan tidak halal.

Imam Ibnu Utsaimin menegaskan,

الرجل الذي لا يصلي إذا ذبح لا تؤكل ذبيحته ، لماذا ؟ لأنها حرام ، ولو ذبح يهودي أو نصراني فذبيحته يحل لنا أن نأكلها ، فيكون – والعياذ بالله – ذبحه أخبث من ذبح اليهود والنصارى

Orang yang tidak shalat, apabila menyembelih, dagingnya tidak boleh dimakan. Mengapa? Karena hasil sembelihannya haram. Andai yang menyembelih itu beragama yahudi atau nasrani, maka sembelihannya halal bagi kita untuk kita makan. Sehingga sembelihan orang yang tidak shalat, lebih buruk dari pada sembelihan yahudi dan nasrani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 12/45)

Allahu a’lam.

oleh Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullahu ta'ala