Tampilkan postingan dengan label Kisah Muslim. Tampilkan semua postingan

Kisah Ustadz Badrusalam dengan Seorang Pemuda

Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. memang dikenal sebagai Ustadz yang rendah hati. Tak hanya itu, beliau juga biasa menjawab pertanyaan jama'ahnya dengan bijaksana. Ada sebuah kisah penuh hikmah tentang dialog Ustadz Badru Salam denga seorang pemuda.

Badrusalam

Selepas kajian sunnah, ada seorang pemuda yang mendatangi Ustadz Badrusalam. Dia sedang dirundung keraguan dalam agamanya dan bertanya kepada Ustadz Badrusalam:

"Ustadz, bisa saya bertanya?"

"Bisa", jawab Ustadz Badrusalam

Pemuda itu berkata, "Ustadz untuk apa Allah menciptakan manusia, sementara Allah mengetahui apa yang akan dilakukan manusia; apakah akan beramal kebaikan atau keburukan?"

Seketika itu Ustad Badrusalam menunduk sejenak berpikir apa jawaban yang paling mudah dipahami oleh si pemuda.

Ustadz Badrusalam kemudian berkata:

"Akhi, sebenarnya ini bukan urusan kita. Karena ilmu kita terlalu dangkal sedangkan ilmu Allah amat luas. Memang segala sesuatu itu telah diketahui oleh Allah. Tetapi yang harus kamu ingat adalah bahwa Allahpun telah memberikan kepada kita kemampuan.

Lalu Ustadz Badrusalam berkata kepadanya, "Boleh saya bertanya?

"Silakan, jawab pemuda tersebut.

Ustadz Badrusalam kemudian berkata, "Kalau saya berkata kepadamu, "Jangan minum gelas yang ada di tanganmu itu! Kamu mampu melakukannya?"

Pemuda itu menjawab, "Mampu."

Ustadz Badrusalam berkata, "Baik, bila Allah memerintahkan kita sholat dan lainnya dan melarang zina dan sebagainya, mampukah kita melakukannya?"

"Mampu, jawabnya.

Ustadz Badrusalam menambahkan, "Jika kamu meninggalkan sholat padahal kamu mampu melakukannya, dan melakukan larangan padahal kamu mampu meninggalkannya, maka Allahpun berhak memberimu sanksi dan balasan. Jika semua peraturan boleh dilanggar dan tidak boleh diberi sanksi hanya karena alasan takdir, maka buat apa dibuat peraturan lalu lintas dan lainnya."

Si pemuda pun diam. Lalu dia berkata, "Lantas kenapa Allah menciptakan manusia?"

Ustadz Badrusalam menjawab, "Pertanyaanmu sama dengan pertanyaan: "Mengapa Allah menciptakan langit dan bumi. Boleh saya bertanya?"

"Boleh", balas si pemuda.

Ustadz Badrusalam kemudian bertanya, "Kalau kamu memiliki banyak kelebihan berupa kecerdasan, keilmuan dan sebagainya. Tetapi kamu sama sekali tidak mempergunakannya. Bukankah itu sia-sia?"

"Betul", jawabnya.

Ustadz Badrusalam berkata, "Akhi, Allah memiliki segala macam kelebihan, maka tak mungkin Allah berbuat sia-sia. Dia menciptakan langit dan bumi karena adanya tujuan yang mulia. Boleh saya bertanya lagi?"

"Silakan, jawab pemuda tersebut.

Ustadz Badrusalam berkata, "Allah menciptakan bumi bukankah harus ada yang memakmurkannya? Jika tidak, maka sia sialah Allah menciptakan bumi ini.

Pemuda itu kembali diam. Ustadz Badrusalam berkata lagi, "Manusialah yang paling pantas untuk memakmurkan bumi ini. Maka Allah bekali manusia dengan ilmu. Dan agar manusia terbimbing hidupnya di dunia, Allah menurunkan syariatNya, memberi perintah dan larangan untuk kemashlahatan mereka."

Akhirnya, pemuda tersebut tersenyum puas dan berterima kasih atas penjelasan yang bijaksana dari Ustadz Badrusalam. Ustadz Badrusalam pun memutuskan untuk segera pamit untuk kembali pulang kepada pemuda tersebut.

Kisah Al Baqarah, Sapi Betina di Zaman Nabi Musa

Kisah ini bercerita tentang seekor sapi betina yang hidup di zaman Nabi Musa 'alaihissalam, dimana tersebutlah di kalangan Bani Israil seorang kaya raya. Dia mempunyai saudara sepupu yang fakir. Tidak ada ahli waris selain dirinya. Ketika orang kaya tersebut tidak lekas mati, maka saudara sepupu ini membunuhnya agar dia dapat mewarisi hartanya. Lalu dia membawa mayat saudaranya ke desa lain lalu melemparkan di pelataran desa. Kemudian dia berlagak hendak menuntut balas. Dia bersama orang-orang mendatangi Nabi Musa ‘alaihissalam lalu mereka memohon kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya diberi keterangan mengenai pembunuh orang tersebut.


Kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam memerintahkan mereka agar menyembelih sapi dengan berkata kepada mereka:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” (QS. Al-Baqarah: 67).

Maksudnya, apakah engkau mengejek kami, padahal kami bertanya kepadamu mengenai orang yang terbunuh, dan engkau justru memerintahkan kami agar menyembelih sapi.

Lantas Nabi Musa ‘alaihissalam menjawab:

“Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Baqarah: 67)

Maksudnya, termasuk orang-orang yang mengejek kaum mukmin.

Ketika orang-orang mengetahui bahwa menyembelih sapi merupakan rencana dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka mereka menanyakan ciri-ciri sapi tersebut kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.

Ternyata di balik hal tersebut ada hikmah besar, yaitu bahwa di kalangan Bani Israil terdapat orang shalih. Dia mempunyai anak laki-laki yang masih kecil dan dia mempunyai anak sapi betina. Dia membawa anak sapi tersebut ke dalam hutan dan berkata, “Ya Allah! Saya menitipkan anak sapi ini kepada-Mu untuk anakku kelak jika dia dewasa.”

Selanjutnya orang shalih ini meninggal dunia, sehingga anak sapi ini masih di hutan sampai bertahun-tahun. Anak sapi itu berlari setiap kali dilihat oleh orang. Ketika anak orang shalih tadi telah dewasa, dia menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Dia membagi malamnya menjadi tiga bagian. Dia melaksanakan shalat dalam sepertiga malam, tidur dalam sepertiga malam, dan duduk di samping ibunya dalam sepertiga malam. Di pagi hari dia mencari kayu bakar yang ditaruh di punggungnya, lalu datang ke pasar untuk menjual kayunya sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian dia menyedekahkan sepertiganya, memakan sepertiganya, dan memberikan kepada sang ibu sepertiganya.

Pada suatu hari sang ibu berkata kepadanya, “Sesungguhnya ayahmu telah mewariskan anak sapi betina untukmu yang dia titipkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di hutan ini, maka berangkatlah! Berdoalah kepada Rabb Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Ismail ‘alaihissalam, dan Nabi Ishaq ‘alaihissalam agar mengembalikan anak sapi tersebut kepadamu. Ciri-cirinya, jika engkau melihatnya, kamu membayangkan seakan-akan sinar matahari memancar dari kulitnya. Dia diberi nama ‘Al-Mudzahhabah’ karena keindahan dan kejernihannya.”

Kemudian anak tersebut memasuki hutan, lalu dia melihat anak sapi sedang merumput, lantas dia memanggilnya dengan mengatakan, “Saya bermaksud kepadamu dengan menyebut nama Rabb Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Ismail ‘alaihissalam, dan Nabi Ishaq ‘alaihissalam.” Kontan sapi itu menengok ke arahnya dan berjalan mendekatinya sehingga sapi tersebut berdiri di hadapannya. Dia lalu memegang lehernya dan menuntunnya.

Dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiba-tiba sapi tersebut bicara, “Wahai anak yang berbakti kepada kedua orang tua! Tunggangilah aku, karena hal itu lebih meringankanmu.’

Anak tersebut berkata, “Sesungguhnya ibuku tidak memerintahkanku melakukan hal itu. Akan tetapi, beliau berkata ‘peganglah lehernya.’”

Sapi itu berkata, “Demi Rabb Bani Israil, jika engkau menunggangiku, niscaya kamu tidak dapat menguasaiku untuk selamanya. Ayo berangkat! Sungguh, jika engkau memerintahkan gunung melepaskan diri dari pangkalnya dan berjalan bersamamu, niscaya ia melakukannya lantaran baktimu kepada ibumu.”

Lantas pemuda tersebut berjalan bersama sapi menemui ibunya. Sang ibu berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau orang fakir. Engkau tidak memiliki harta. Engkau kerepotan mencari kayu bakar di siang hari dan melakukan qiyamul lail di malam hari. Oleh karena itu, pergilah. Jual sapi ini!”

Si anak bertanya , “Saya jual dengan harga berapa?”

Ibunya menjawab, “Tiga dinar. Engkau jangan menjual tanpa pertimbanganku.” Harga sapi telah dipatok tiga dinar. Sang anak pun berangkat ke pasar.

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat agar dia melihat makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya sekaligus untuk menguji pemuda tersebut bagaimana baktinya kepada ibunya. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui hal tersebut.

Sang malaikat bertanya, “Kamu jual sapi ini dengan harga berapa?”

Dia menjawab, “Tiga dinar. Dengan catatan ibuku meridhainya.”

Lantas malaikat berkata, “Saya beli enam dinar. Tetapi engkau tidak perlu meminta persetujuan ibumu.”

Pemuda itu berkata, “Seandainya engkau memberiku emas seberat sapi ini pun, saya tidak akan mengambilnya melainkan dengan ridha ibuku.”

Kemudian dia membawa pulang sapi kepada ibunya dan dia menceritakan tentang harganya.

Lalu sang ibu berkata, “Kembali lagi! Juallah dengan harga enam dinar berdasarkan ridha dariku.’

Dia pun berangkat ke pasar dan menemui malaikat. Sang malaikat bertanya, “Apakah engkau telah meminta persetujuan ibumu?”

Pemuda itu menjawab, “Beliau menyuruhku agar tidak mengurangi harganya dari enam dinar dengan catatan saya meminta persetujuan ibu.”

Sang malaikat berkata, “Saya akan memberimu dua belas dinar.”

Pemuda itupun menolak, lalu kembali kepada ibunya dan menceritakan hal tersebut kepadanya.

Ibunya berkata, “Sungguh, orang yang mendatangimu adalah malaikat dalam bentuk manusia untuk mengujimu. Jika dia mendatangimu lagi, katakan padanya, ‘Apakah engkau memerintahkan kami untuk menjual sapi ini ataukah tidak?”

Pemuda itu pun melakukan hal tersebut, lalu malaikat berkata, “Kembalilah kepada ibumu. Dan tolong sampaikan padanya, ‘Biarkanlah sapi ini. Sungguh Nabi Musa bin Imran ‘alaihissalam akan membelinya dari kalian untuk mengungkap korban pembunuhan seseorang di kalangan kaum Bani Israil. Janganlah engkau menjualnya kecuali dengan kepingan dinar yang memenuhi kulitnya. Oleh karena itu, tahan dulu sapi ini.’”

Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menakdirkan orang-orang Bani Israil yang menyembelih sapi itu. Mereka terus-menerus menanyakan ciri-ciri sapi tersebut dan ternyata ciri-ciri yang diberikan sesuai dengan ciri-ciri sapi pemuda shalih tersebut. Hal ini merupakan imbalan bagi pemuda tersebut atas baktinya kepada sang ibu sebagai anugerah dan kasih sayang.

Akhirnya mereka pun membeli sapi tersebut dengan emas sepenuh kulit sapi. Lantas mereka menyembelih sapi tersebut kemudian memukulkan bagian dari sapi kepada korban pembunuhan sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selanjutnya orang yang terbunuh bangkit; hidup lagi dengan izin Allah, sedang urat lehernya masih mengalirkan darah. Lalu dia berkata, “Yang membunuh saya adalah fulan.” Kemudian dia jatuh dan mati di tempatnya. Maka, si pembunuh terhalang mendapat warisan.

Matahari Pernah Berhenti Berputar

Di antara sejarah yang sudah dilupakan oleh kalangan sejarawan dunia, kisah seorang nabi yang sholih, yaitu Nabi Yusya’ bin Nun -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Disebutkan sejarahnya oleh Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhoriy dalam kitab Shohih-nya dan Imam Muslim juga dalam kitab Shohih-nya bahwa ketika Nabi Yusya’ hendak melakukan jihad melawan kaum kafir yang menguasai Baitul Maqdis, maka ia memberikan nasihat kepada semua pasukannya. Kemudian beliau pun melakukan perjalanan dalam memerangi kaum kafir. Ketika beliau melihat perang belum usai, sedang matahari hampir tenggelam, maka ia pun memohon kepada Allah agar matahari ditahan. Akhirnya, Allah -Azza wa Jalla- menahan matahari sampai Nabi Yusya’ menyelesaikan perang dan mengalahkan kaum kafir.


Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تُحْبَسْ لِبَشَرٍ إِلَّا لِيُوشَعَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ

“Sesungguhnya matahari tak pernah ditahan untuk seorang manusia pun, selain untuk Nabi Yusya’ di hari beliau melakukan perjalanan menuju Baitul Maqdis”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/325) dari Abu Hurairah. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 202)]

Ahli Hadits Negeri Yordania, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa matahari tak pernah ditahan (oleh Allah), selain untuk Yusya’ –alaihis salam-. Di dalam hadits ini terdapat isyarat tentang lemahnya sesuatu yang diriwayatkan bahwa hal itu juga (terjadi) bagi selain beliau”. [Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah (no. 202)]

Kisah Nabi Yusya’ bin Nun ini merupakan bukti kuat bahwa banyak di antara sejarah dunia yang berserakan dan sudah dilupakan oleh manusia. Kisah-kisah yang menjelaskan kekuasaan Allah sebagai satu-satunya sembahan manusia yang haq. Akan tetapi karena kebanyakan sejarawan dunia dari kalangan orang jahil dan atheis, maka merekapun tidak atau enggan menyebutkan kisah-kisah seperti ini.

Sejarah yang luar biasa, matahari ditahan oleh Allah Sang Maha Pencipta segala sesuatu. Makhluk yang demikian besar tunduk kepada ketentuan Allah.

Merupakan sunnatullah bahwa seluruh makhluk yang ada di dunia ini, wajib tunduk dan menghambakan diri secara kauni kepada Rabbul ‘alamin. Sebesar apapun makhluk tersebut dalam pandangan manusia, tetap saja makhluk yang wajib tunduk kepada kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Matahari adalah salah satu makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang jamad (benda mati) dan yang sangat besar baik materinya maupun manfaatnya bagi manusia. Sekalipun demikian, dia tidaklah congkak dan kufur terhadap perintah Allah. Jjika demikian keadaannya, maka bagaimana dengan manusia yang kecil. Layak manusia baginya untuk kufur dan membangkang terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Kita simak kisah berikut dan beberapa mutiara kisah yang telah banyak digali oleh para ulama kita. Semoga bisa menjadi ibrah (pelajaran) bagi orang-prang yang memiliki akal dan mau memikirkan kekuasaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allahul Muwaffiq.

Kisah Matahari Berhenti Beredar Taat Kepada Allah

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang nabi dari nabi-nabi terdahulu pergi berperang, dia berkata kepada kaumnya, ‘Janganlah ikut bersamaku untuk berperang seseorang yang telah menikahi wanita (beristri), bercita-cita membangun mahligai indahnya rumah tangga namun mereka belum merangkul tujuan mulia tersebut. Demikian pula seorang yang telah menancapkan tiang pondasi rumah, sedang dia belum menaikkan atapnya. Serta seorang yang telah membeli kambing atau unta yang bunting, sedang dia tengah menunggu kelahiran anak untanya.’ Maka nabi tersebut pun berangkat berperang. Tatkala telah mendekat ke sebuah qoryah, desa yang dituju, waktu ashar pun menjelang. kemudian nabi tersebut berkata kepada matahari. ‘Wahai matahari, sesungguhnya engkau diperintah dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahankanlah dia untuk perjuangan kami.’ Sesuatu yang keajaiban pu terjadi, matahari tertahan, sampai Allah memenangkan peperangan tersebut atasnya. Ini bukanlah sebuah siklus yang runut, seperti yang dialami halley, encke, west, atau komet-komet, rasi bintang dan benda langit lainnya yang memiliki siklus rutinan. Setelah itu sang nabi mengumpulkan harta ghanimah-nya, agar datang api dari langit untuk membakar tumpukan harta tersebut. Suatu ketetapan dari Allah bagi umat terdahulu, rampasan perang bukanlah sesuatu yang layak dibagikan dan dimanfaatkan. Terjadi lagi keajaiban lainnya, api tidak menjalankan tugasnya sebagaimana biasa, ia tidak mau membakarnya. Sontak sang nabi berujar, “Sesungguhnya (pasti) di antara kalian ada yang berbuat ghulul (korupsi dengan menyembunyikan harta rampasan), maka hendaklah berbaiat kepadaku dari setiap kabilah yang diwakilkan oleh satu orang.’ Maka terekatlah tangan seorang laki-laki pada tangannya, kemudian dia mengatakan, ‘Pasti kalianlah yang telah berbuat ghulul, maka hendaklah kabilahmu berbaiat kepadaku.’ Pada saat baiat dilakukan, tangan-tangan mereka bertautan. Hingga tangan dua orang atau tiga orang laki-laki dari kabilah yang diminta ini merekat pada tangannya. Seseorang yang diberi wahyu ini mengatakan, ‘Kalianlah yang telah berbuat ghulul.’ Kemudian mereka datang membawa emas sebesar kepal lembu dan meletakkannya pada ghonimah yang lainnya. Setelah itu datanglah api dari langit membakar harta-harta ghonimah tersebut, dan tidaklah halal ghonimah itu pada umat-umat sebelum kita, kemudian tatkala Allah melihat kekurangan dan kelemahan kita, maka Allah menghalalkannya untuk kita.” Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitabu Fardhi Khumus, no.3124, dan Imam Muslim dalam Kitabul Jihad Wassair, no.1747. Namun bahasa kisah diadaptasi oleh tim kisah muslim.

Mutiara Kisah

Kisah di atas tidak kita ragukan akan keabsahannya karena kisah tersebut diriwayatkan secara muttafaqun alaih (disepakati atasnya) oleh Al-Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab shahihnya, yang kedunya merupakan kitab paling shahih setelah Alquran sebagaimana hal itu telah dijelaskan oleh para ulama kita. Kisah shahih di atas banyak sekali mengandung pelajaran dan mutiara kisah, di antaranya adalah sebagai berikut:

Bahwasanya jihad fi sabilillah disyariatkan pada umat-umat terdahulu, sebagaimana hal itu pun disyariatkan juga pada umat ini.

Sebagaimana yang telah dikabarkan oleh kitabullah dalam firman-Nya,

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَآأَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

“Dan berapa banyak nabi yang berperang, bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena benca yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh) Allah menyukai orang-orang yang sabat.” (QS. Ali Imran: 146)

Imam Ibnu katsir mengatakan, “Ayat ini merupakan tasliyah (penghibur) bagi kaum muslimin berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada mereka pada waktu Perang Uhud, dan dikatakan maknanya adalah betapa banyak dari para nabi (sebelumnya) yang terbunuh, dan terbunuh pula bersamanya sejumlah besar dari para pengikutnya yang setia dan para sahabatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2:128)

Hal ini, karena pada waktu Perang Uhud, lemahlah orang-orang yang lemah dan terbunuhlah sejumlah dari kaum muslimin. Setan menghembuskan angin fitnah dan menyeru seraya mengatakan, “Ketahuilah bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh.” Maka Ibnu Qomi’ah kembali menuju (barisan) kaum musyrikin dan mengatakan, “Sayalah yang telah membunuh Muhammad,” padahal dia hanya memukul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebabkan luka di bagian kepala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hembusan angin fitnah tersebut merasuk ke hati sebagian besar sahabat yang turut berperang, mereka meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh. Lantas Allah membantah dan menghibur kaum muslimin dengan menurunkan ayat tersebut.

Bahwa perkara-perkara yang penting selayaknya tidak diserahkan kecuali kepada orang-orang yang kuat semangat dan tidak tersibukkan pikirannya dengan suatu urusan, karena seseorang yang pikirannya bercabang, kadang-kadang akan menjadikan lemah semangat dan berkurang kecintaannya untuk melaksanakan sesuatu ketaatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang melakukan shalat dalam keadaan menahan buang hajat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak ada shalat tatkala dihidangkan makanan, dan tidak pula tatkala dia menahan dua hajat (hajat besar dan kecil).” (HR. Muslim, no.560)

Hadis ini menunjukkan bahwa selayaknya seorang yang ingin melaksanakan sesuatu ketaatan, hendaklah ia menyiapkan hati dan badannya untuk melaksanakan ketaatan tersebut. Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal lain sehingga dapat mengerjakan ketaatan tersebut dengan penuh kecintaan, ketentangan, dan kelapangan hati.

Dalam kisah di atas terdapat dalil akan keagungan Allah dan Dialah yang megnatur alam semesta ini. Allah mengatur perkara-perkara di dunia, sekalipun di luar kebiasaannya dalam rangka menolong Rasul-Nya atau menolak kemadharatan yang menimpanya atau untuk suatu maslahat tertentu. Hal ini sebagai bantahan bagi orang-orang yang berpendapat bahwa jagat raya ini adalah suatu rangkaian keteraturan alam yang berjalan sendiri tanpa ada yang mengaturnya, mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta ini. Wal iyadzu billah.

Alquran dan sunah telah menunjukkan bahwa alam semesta ini suatu saat dapat berubah dan ada yang mengaturnya. Liahatlah seorang nabi tersebut, dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan matahari pun tertahan dengan kehendak-Nya. Dahulu tatkala para musyrikin meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendatangkan bukti akan kebenarannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ke bulan, maka terbelahlah bulan menjadi dua.

Allah berfirman,

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ {1} وَإِن يَرَوْا ءَايَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ 2

“Telah dekat datangnya saat itu dan bulan telah terbelah. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melhat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (QS. Al-Qamar: 1-2)

Merupakan nikmat Allah yang dicurahkan kepada umat ini, Allah menghalalkan ghanimah yang daimbil dari harta-harta orang kafir, padahal harta tersebut dahulu diharamkan pada umat-umat sebelum kita. Ini merupakan fadhilah Allah kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah,

“Aku diberi lima hal, yang belum pernah diberikan kepada seorang pun dari nabi-nabi sebelumku, beliau menyebutkan di antaranya, dihalalkan ghanimah atas beliau, dan tidaklah halal ghanimah tersebut pada umat-umat sebelumku.” (HR. Bukhari, no.335, Muslim, no.521)

Merupakan salah satu sebab datangnya adzab bagi suatu jamaah adalah karena sebab perbuatan orang-orang zalim di kelompoknya. Dari sinilah kita disunnahkan untuk saling memberi nasihat satu sama lain, saling beramar makruf nahi mungkar. Karena suatu kelompok masyarakat ibarat sebuah kapal yang tengah berlayar di tengah lautan, keselamatan mereka adalah tanggung jawab bersama.
Dalam kisah di atas terdapat bukti akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekelebat api datang dan tidak diketahui dari mana datangnya. Api tersebut datang bukan berasal dari tumbuh-tumbuhan bumi atau dari ranting-ranting kering, akan tetapi ia datang dari langit dengan perintahkan Allah untuk turun dan membakar harta-harta ghanimah yang telah dikumpulkan tersebut. Masihkah ada seorang yang ragu akan kekuasaan Allah kepada makhluk-Nya!?

Demikianlah sebuah kisah menarik yang penuh ibrah bagi orang-orang yang mau menjadikannya sebagai pelajaran, akan tetapi betapa banyak ibrah tapi sedikit sekali orang yang mau mengambilnya, semoga bermanfaat.