Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

Faedah Dahsyat dari Nama Allah Al Hayyu Al Qayyum

Sebagian ulama memasukkan nama Al-Hayyu Al-Qayyum dalam nama Allah yang agung (ism Allah al-a’zham) seperti yang dipilih oleh Ibnul Qayyim dalam Zaad Al-Ma’ad (4: 187). Dasarnya adalah hadits berikut.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَالِسًا وَرَجُلٌ يُصَلِّى ثُمَّ دَعَا اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ.

فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « لَقَدْ دَعَا اللَّهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيمِ الَّذِى إِذَا دُعِىَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى »

Dari Anas, ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam keadaan duduk lantas ada seseorang yang shalat, kemudian ia berdo’a, “Allahumma inni as-aluka bi-anna lakal hamda, laa ilaha illa anta al-mannaan badii’us samaawaati wal ardh, yaa dzal jalali wal ikram, yaa hayyu yaa qayyum [artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu karena segala puji hanya untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, Yang Banyak Memberi Karunia, Yang Menciptakan langit dan bumi, Wahai Allah yang Maha Mulia dan Penuh Kemuliaan, Ya Hayyu Ya Qayyum –Yang Maha Hidup dan Tidak Bergantung pada Makhluk-Nya-].”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ia telah berdo’a pada Allah dengan nama yang agung di mana siapa yang berdo’a dengan nama tersebut, maka akan diijabahi. Dan jika diminta dengan nama tersebut, maka Allah akan beri.” [HR. Abu Daud no. 1495 dan An-Nasa’i no. 1301. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih].

http://www.ayat-kursi.com

Ibnul Qayyim dalam Zaad Al Ma’ad (4: 187) berkata, “Do’a ‘yaa hayyu yaa qayyum, bi rahmatika astaghits …’ punya kandungan yang luar biasa.

Sifat hayyu (kehidupan) mengandung makna bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan mengonsekuensikan sifat sempurna tersebut. Sedangkan sifat qayyum mengandung makna seluruh sifat fi’liyah (sifat yang menunjukkan perbuatan Allah).

Oleh karena itu, nama Al-Hayyu Al-Qayyum termasuk dalam nama Allah yang agung (ism Allah Al A’zham) di mana jika seseorang berdo’a dengannya, akan dikabulkan. Jika meminta dengannya, akan diberi.

Kalau disebut Allah memiliki sifat hayat (kehidupan) yang sempurna, maka tentu Allah terlepas dari berbagai cacat (penyakit). Karenanya, penduduk surga mengalami kehidupan yang sempurna yang tidak lagi merasa cemas, susah, sedih, dan kesengsaraan lainnya.

Kalau sifat hayat (kehidupan) tak sempurna, berarti berpengaruh pada perbuatan yang tidak sempurna. Sehingga sifat qayyum pula jadi tidak sempurna. Sifat qayyum yang sempurna (ketidakbergantungan pada makhluk) pasti berasal dari sifat hayat (kehidupan) yang sempurna. Sifat hayyu (kehidupan) yang sempurna menunjukkan adanya sifat lain yang sempurna. Sedangkan sifat qayyum yang sempurna menunjukkan sifat perbuatan yang sempurna.

Karenanya seseorang yang bertawassul dengan sifat hayyu dan qayyum punya pengaruh besar, di mana ia akan dihilangkan dari sifat yang bertentangan dengan sifat kehidupan (seperti dijauhkan dari penyakit, pen.) dan dapat dihilangkan dari sifat jelek lainnya.”

Amalkan doa di atas dan manfaatkan nama Allah Al-Hayyu Al-Qayyum ketika kita memanjatkan do’a. Moga Allah mengabulkan setiap do’a kita. Aamiin, Ya Mujibas Sa-ilin.

oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Umur Umat Islam Hanya 1500 Tahun? Benarkah?

Ada ustadz yang meramal bahwa umur umat Islam hanya 1500 tahun. Padahal, dalam Shahih–nya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu. Terjemahan bebas hadits ini ialah: “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian ialah seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari. Ahli Taurat (Yahudi) diberi kitab Taurat, lalu beramal sehingga tatkala mencapai tengah hari (zuhur) mereka tak sanggup lagi beramal, lalu diberi pahala seqirat-seqirat.


Kemudian ahli Injil (Nasrani) diberi Injil, lalu beramal hingga masuk waktu salat asar, lalu tidak sanggup melanjutkan, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian kita diberi Al–Qur’an, dan kita beramal (dari asar) hingga tenggelam matahari, dan kita diberi pahala dua qirat-dua qirat.

Maka, kedua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) bertanya, ‘Wahai Rabb kami, (mengapa) Engkau beri mereka (muslimin) pahala dua qirat, dan kami (hanya) satu qirat, padahal kami lebih banyak amalnya?’ ‘Apakah Aku mengurangi pahala (yang kujanjikan) bagi kalian?’ tanya Allah. ‘Tidak,’ jawab mereka. ‘Itulah keutamaan yang kuberikan kepada siapa yang kukehendaki,’ jawab Allah”.

Dalam hadits lainnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al–Asy’ari, bahwa Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani ialah seperti seseorang yang menyewa suatu kaum agar bekerja hingga malam. Maka kaum tersebut bekerja hingga tengah hari dan mengatakan, ‘Kami tak butuh kepada upahmu.’ Lalu, orang tersebut mengupah kaum lainnya dan berkata, ‘Lanjutkanlah waktu yang tersisa dari hari ini dan kalian akan mendapat upah yang kusyaratkan.’ Maka, mereka pun bekerja hingga tiba waktu salat asar dan berkata, ‘Jerih payah kami untukmu (tidak minta upah).’ Kemudian, orang tersebut menyewa kaum lainnya dan kaum tersebut bekerja mengisi sisa waktu hari itu hingga tenggelam matahari dan mereka mendapat upah sebanyak upah kedua kaum sebelumnya.”
(Artinya, walau tempo kerja mereka paling singkat, namun upahnya setara dengan upah yang disyaratkan bagi kedua kaum sebelum mereka, yang bekerja dari pagi hingga sore.)

Dalam syarahnya yang berjudul Fathul Baari (jilid 4 hal 566 cet. Daarul Kutub Al–Ilmiyyah), Ibnu Hajar mengatakan sebagai berikut yang artinya: “Hadits ini dijadikan dalil bahwa eksistensi umat ini mencapai lebih dari seribu tahun, sebab konsekuensi dari hadits ini ialah bahwa eksistensi Yahudi setara dengan gabungan eksistensi (umur) Nasrani dan muslimin.

Sedangkan ahli sejarah telah sepakat bahwa tenggang waktu yang dilalui umat Yahudi hingga diutusnya Nabi adalah lebih dari 2000 tahun, sedangkan tempo yang dilalui Nasrani hingga diutusnya Nabi adalah 600 tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu, sehingga tempo yang akan dilalui kaum muslimin pasti lebih dari seribu tahun.”
(Ini berarti bahwa Ibn Hajar sekadar menukil pendapat sebagian kalangan dalam menafsirkan hadits tersebut tanpa menyebut siapa orang yang berpendapat.

Dengan kata lain, ini pendapat yang bersumber dari orang misterius yang agaknya bukan tergolong ulama panutan. Andai saja orangnya tergolong ulama panutan, pastilah namanya layak untuk disebutkan. Jadi, Ibnu Hajar sendiri sama sekali tidak bisa dianggap menyetujui pendapat tersebut karena beliau sendiri menukilnya dengan shighat mabni lil majhul, yang identik dengan shighat tamridh, dan shighat tamridh mengesankan lemahnya pendapat yang dinukil.)

Ibnu Hajar juga mengatakan sebelumnya sebagai berikut: “Hadits ini juga mengandung isyarat akan singkatnya umur dunia yang tersisa. Jadi, kalkulasi umur umat Islam sama dengan umur Yahudi dikurangi umur Nasrani, alias 2000 lebih sedikit dikurangi 600 tahun, yakni 1400 tahun lebih sedikit.”

Sementara itu, As–Suyuti dalam kitab (الكشف عن مجاوزة هذه الأمة الألف) mengatakan: “Berdasarkan sejumlah riwayat (atsar), umur umat ini (islam) adalah lebih dari seribu tahun, namun lebihnya tidak mungkin lebih dari 500 tahun (al Kasyf hal 206). Artinya, maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun.”

Dari kedua pendapat inilah lantas disimpulkan bahwa umur umat Islam berkisar antara 1400-1500 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada tahun 1437 H. Sebagaimana dimaklumi, bila ditambahkan 13 tahun (periode prahijrah sejak masa kenabian Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam), berarti umur umat Islam saat ini adalah 1450 tahun. Artinya, tempo yang tersisa sehingga umat ini punah ialah 50 tahun saja.

Dan bila kita tinjau dari hadits shahih tentang turunnya Isa Al-Masih di akhir zaman menjelang kiamat, kita dapatkan bahwa Isa Al-Masih akan hidup selama 40 tahun di bumi sebelum akhirnya wafat dan disalatkan oleh kaum Muslimin (berdasarkan H.R. Abu Dawud, disahihkan oleh Al-Albani). “Artinya, turunnya Isa Al-Masih tinggal kurang dari 10 tahun lagi dari sekarang! Dan turunnya Isa Al-Masih merupakan salah satu tanda besar hari kiamat!” demikianlah menurut pendapat yang meyakini kalkulasi tersebut.

Koreksi Atas Kalkulasi Di Atas


Perlu diketahui, bahwa kedua hadits dalam Shahih Bukhari di atas, bukanlah dalam konteks menjelaskan umur umat Islam, melainkan sekadar membuat perumpamaan. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H): “Hadits ini disampaikan oleh Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam sekedar sebagai perumpamaan, dan perumpamaan itu cenderung bersifat longgar.” (Fathul Baari 4/341)

Sementara itu, Imamul Haramain (wafat 478 H) mengatakan: “Hukum-hukum agama tidak boleh diambil dari hadits-hadits yang disampaikan dalam bentuk perumpamaan.” (Fathul Baari 2/50).
Jadi, sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bahwa, “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian…” jelas dalam rangka membuat perumpamaan karena menggunakan harf tasybih (“kaaf”). Ini bisa dilihat kembali dalam lanjutan hadits tersebut (كما بين صلاة العصر إلى غروب الشمس) yang diterjemahkan sebagai “seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari”.

Perhatikan satu contoh ketika dikatakan (كاألسد زيد) “Zaid seperti singa”, artinya bukan berarti sama persis seperti singa, melainkan ada salah satu sifat khas singa yang dimiliki Zaid, yaitu pemberani. Dan berdasar kaidah dalam metode penyerupaan, yang diserupakan tidak harus sama dengan contohnya, kata benda yang terletak sebelum kata “seperti” tidak harus sama persis dengan yang terletak setelahnya. Ibnu Hajar mengatakan, “Penyerupaan dan permisalan tidak harus berarti menyamakan dari semua sisi” (Fathul Baari, 2/50).

Dengan demikian, ketika Nabi menyerupakan eksistensi kita dibanding umat-umat sebelumnya ialah seperti tempo antara masuknya waktu asar hingga terbenam matahari, maka ini sekedar permisalan dengan maksud mubaalaghah (majas hiperbola) dalam menjelaskan dekatnya terjadinya hari kiamat. Dan hal ini bukan berarti bahwa eksistensi umat akan sesingkat itu. Dari sini, jelaslah bahwa Nabi tidak sedang menjelaskan umur umat Islam dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan.

Dan sanggahan pertama atas syubhat ini ialah bahwa yang disebutkan dalam hadits itu sekadar perumpamaan yang bersifat longgar dan tidak bisa menjadi sumber hukum (hujjah) dalam masalah fikih. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh sejumlah ulama seperti Imamul Haramain, Ibnu Rajab dan Ibnu Hajar.

Oleh karenanya, dalam syarahnya Ibnu Hajar mengatakan, “Mereka yang lebih banyak amalnya (Yahudi dan Nasrani) tidak harus berarti lebih lama eksistensinya karena ada kemungkinan bahwa beramal di masa mereka lebih berat sehingga pahalanya otomatis lebih besar. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah yang artinya, ‘Wahai Rabb kami, janganlah Kaubebankan kepada kami beban yang berat, sebagaimana yang telah Kau bebankan kepada orang-orang sebelum kami’.”

Alasan lain yang menguatkan bahwa yang dimaksud oleh hadits ini ialah sebatas banyak sedikitnya amal tanpa dikaitkan dengan panjang pendeknya tempo masing-masing umat adalah bahwa mayoritas ahli sejarah menyebutkan selang waktu antara Nabi Isa ‘alaihissalaam dengan Nabi kita shallallaahu’alaihi wa sallam adalah 600 tahun, dan ini merupakan pendapat Salman Al Farisi yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari. Meski demikian, ada pula yang berpendapat bahwa temponya kurang dari itu, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa selang waktunya hanya 125 tahun!

Padahal, kita menyaksikan bahwa selang waktu yang telah dilalui oleh umat Islam sejauh ini adalah lebih dari 600 tahun (Dengan mengingat bahwa Ibnu Hajar hidup antara tahun 773-852 H, yang berarti bahwa ketika beliau menuliskan kata-kata tersebut, umat Islam telah berumur lebih dari 800 tahun sejak diutusnya Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam.).

Dengan demikain, bila kita berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud adalah perumpamaan panjang pendeknya tempo masing-masing umat (alias bukan banyak sedikitnya amal mereka), maka konsekuensinya waktu asar harus lebih panjang daripada waktu zuhur, padahal tidak ada seorang alim pun yang berpendapat demikian. Ini berarti bahwa yang dimaksud lewat perumpamaan tersebut sebenarnya ialah banyak-sedikitnya amalan. Wallaahu Ta’ala a’lam. (Fathul Baari, Ibnu Hajar, 2/50-51, cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyyah).

Ibnu Rojab mengatakan, “Menentukan sisa waktu (umur) dunia dengan bersandar kepada hadits-hadits seperti ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan karena hanya Allah-lah yang mengetahui kapan terjadinya kiamat, dan tidak seorang pun yang diberitahu tentang waktunya. Oleh karenanya, Nabi ketika ditanya tentang kapan terjadinya kiamat telah menjawab, ‘Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya’.” Jadi, maksud dari perumpamaan Nabi dalam hadits ini ialah sekedar mendekatkan waktu terjadinya hari kiamat, tanpa menentukan waktunya. (Fathul Baari, Ibnu Rajab, 4/338).

Selain itu, bila kita perhatikan dalam hadits-hadits di atas, Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan dua hal,

Pertama: perumpamaan antara ajal (umur) umat Islam dibanding ajal umat-umat sebelum kita.  

Dan ini berarti meliputi seluruh manusia sejak zaman Adam ‘alaihissalam hingga diutusnya Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, alias tidak terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani saja.

Kedua: perumpamaan antara balasan amal umat islam dengan balasan amal dua umat besar sebelum kita, yaitu Yahudi dan Nasrani. 

Kesimpulannya, menghitung umur umat Islam dengan cara yang telah disebutkan (umur Yahudi minus umur Nasrani) adalah keliru karena mestinya yang jadi acuan adalah umur semua umat, yang dibandingkan dengan umat Islam. Dan umur semua umat zahirnya seperti panjangnya waktu antara terbit fajar hingga waktu asar, sedangkan umur umat islam sesingkat waktu antara asar hingga magrib. Berhubung kita tidak tahu berapa lama usia umat-umat terdahulu, maka mustahil kita bisa memprediksi umur umat Islam

Jadi, perbandingan antara umat Islam dengan ahli kitab, bukan dalam hal panjang-pendeknya umur masing-masing, melainkan dalam hal banyak sedikitnya pahala yang didapat oleh masing-masing lewat amalnya. Ini dikarenakan saat berbicara tentang umat Islam dengan ahli kitab, Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam tidak menyebutkan “ajal” atau “eksistensi”, tetapi menggunakan istilah “orang yg diberi kitab lalu mengamalkannya hingga waktu tertentu”, atau dengan istilah “orang yang mempekerjakan suatu kaum”, dan sejenisnya, sehingga tidak bisa menjadi acuan untuk menghitung umur masing-masing umat.

Dari sini, ketika disebut dalam hadits bahwa orang-orang Yahudi beramal hingga tengah hari, tidak berarti mereka beramal sejak terbit fajar karena sebelum mereka ada sejumlah umat yang berumur ribuan tahun telah mendahului mereka dalam amal, dan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam tidak menyebutkan sejak kapan Yahudi mulai beramal. Namun, hanya dijelaskan bahwa mereka beramal hingga masuk waktu zuhur. Oleh karenanya, tidak bisa dijadikan acuan untuk menghitung berapa umur nisbah umur mereka dibanding umur Nasrani dan umat Islam.

Di samping itu, hadits perbandingan umur kita dengan umur-umur umat sebelum kita, bisa dipahami dari sisi lain, yaitu bahwa umur rata-rata individu umat Islam adalah jauh lebih singkat dibanding umur rata-rata individu umat-umat sebelumnya. Sebagaimana singkatnya waktu asar dibanding waktu siang secara keseluruhan. Jika kita anggap waktu asar sekitar 3 jam, sedangkan waktu siang adalah 12 jam, berarti rata-rata umur individu umat Islam adalah seperempat umur individu umat sebelumnya, namun umat Islam diberi pahala yang lebih besar.

Pemahaman ini justru lebih sesuai dengan maksud hadits yang ingin menonjolkan besarnya karunia Allah atas umat Muhammad, yakni walau usianya lebih pendek dan amalnya relatif lebih sedikit, tetapi pahala yang diterimanya lebih banyak.

Dalam tulisan diatas telah dijelaskan beberapa poin sanggahan atas pendapat yang mengatakan bahwa umur umat Islam adalah 1400-1500 tahun, dan masih tersisa satu pendapat lagi yang belum disanggah, yaitu pendapat As-Suyuti rahimahullah.

Setelah merujuk ke kitab As Suyuti, ternyata atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti hingga mengatakan bahwa Allah menangguhkan umat Islam sampai lebih dari 1000 tahun, dan lebihnya tidak akan lebih dari 500 tahun (alias maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun), semuanya adalah atsar-atsar yang tergolong dha’if. Sementara atsar sahabat yang sahih dalam bab ini, menurut para ulama sumbernya adalah dari ahli kitab. Kesimpulannya, semua atsar ini tidak bisa jadi pijakan dalam masalah yang sangat vital seperti ini.

Oleh karenanya, pendapat As-Suyuti tersebut dibantah oleh As-Shan’ani dalam risalahnya yang berjudul كم الباقي من عمر الدنيا؟ (Berapa Sisa Umur Dunia?). As-Shan’ani menyebutkan atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti, yaitu:

1. Atsar Abdullah bin Amru bin Ash yang berbunyi:

يبقى الناس بعد طلوع الشمس من مغرهبا مائة وعشرين سنة

“Setelah matahari terbit dari Barat, manusia akan tetap eksis selama 120 tahun“.
2. Bahwasanya Isa Al-Masih akan tetap hidup selama 40 tahun setelah membunuh Dajjal.
3. Kemudian setelah itu Isa akan menggantikan kepemimpinan seorang lelaki dari Bani Tamim selama 3 tahun.
4. Dan bahwasanya manusia akan tetap hidup 100 tahun setelah Allah mengirim angin baik yang mencabut ruh setiap mukmin, akan tetapi mereka yang masih hidup tersebut tidak mengenal agama apa pun.
Setelah menyebutkan atsar-atsar tadi, As-Shan’ani lantas berkata:

فهذه مئتان وثلاث وستون سنة، ونحن الآن في قرن الثاني عشر، ويضاف إليه مئتان وثلاث وستون سنة، فيكون الجميع أربعة عشر مئاة وثلاث وستون، وعلى قوله إنه لا يبلغ خمسمئة سنة بعد الألف، يكون منتهى بقاء الأمة بعد الألف: أربعمئة وثلاث وستين سنة، يتخرج منه أن خروج الدجال –أعاذنا الله من فتنته– قبل انخرام هذه المئة التي نحن فيها!

“Berarti, total temponya ialah 263 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada abad ke-12 hijriyah, yang bila ditambah 263 tahun, berarti totalnya 1463 tahun. Dan menurut pendapat As-Suyuti yang mengatakan, ‘Bahwa penangguhan umur umat islam tidak lebih dari 500 tahun setelah berlalu seribu tahun,’ berarti batas akhir eksistensi umat Islam setelah melalui 1000 tahun, adalah 463 tahun. Kesimpulannya, keluarnya Dajjal –semoga Allah melindungi kita darinya– adalah sebelum abad ke-12 H ini berakhir!” (Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا) hal 40.)

Jadi, ternyata atsar-atsar yang dijadikan pijakan oleh As-Suyuti untuk menentukan batas umur umat Islam maksimal adalah 1500 tahun itu memiliki kalkulasi yang berbeda.

Sebabnya, 1500 tahun itu masih dikurangi peristiwa-peristiwa berikut:
1. Tempo 120 tahun setelah matahari terbit dari barat.
2. Tempo 40 tahun dari keberadaan Isa Al-Masih setelah terbunuhnya Dajjal.
3. Tempo 3 tahun ketika Isa menggantikan kepemimpinan seorang lelaki Bani Tamim.
4. Tempo 100 tahun setelah semua orang beriman diwafatkan melalui berhembusnya angin baik.
Totalnya dari data di atas ialah 120 + 40 + 3 + 100 = 263 tahun. Kesimpulannya, umur umat Islam harus berakhir setelah melalui (1500 – 263 =) 1237 tahun. Dengan kata lain, semua peristiwa besar tadi mestinya telah muncul pada tahun 1237 H menurut kalkulasi As-Suyuti (yang ternyata tidak terjadi)!

Dari sini saja terbukti betapa rancunya pendapat tersebut, apalagi jika dilihat dari banyaknya tanda-tanda hari kiamat yang belum muncul, seperti jazirah Arab kembali menghijau dan dialiri sungai-sungai. Ini pun bukan sesuatu yang bersifat temporer, melainkan menjadi ciri dominan bagi jazirah Arab. Dan kita lihat sampai sekarang hal itu belum terwujud.

Demikian pula tentang kaya rayanya umat Islam sehingga seseorang tidak lagi mendapati orang yang mau menerima sedekahnya. Demikian pula tentang kembalinya paganisme di jazirah Arab, penyembahan terhadap berhala-berhala Latta dan ‘Uzza dan semisalnya yang dahulu pernah disembah.

Demikian pula perang besar antara kaum muslimin dengan Yahudi hingga orang-orang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon tersebut memanggil kaum muslimin, “Yaa Muslim (hai orang islam)… Yaa ‘Abdallaah (hai hamba Allah), ini ada orang Yahudi bersembunyi di belakangku, kemari dan bunuhlah dia!” Dan panggilan ini (Yaa Muslim ataupun Yaa ‘Abdallah) menunjukkan betapa Islam telah mewarnai kaum muslimin, serta peribadatan kepada Allah semata (tauhid) juga telah mendominasi kaum muslimin. Sebabnya, hakikat Islam adalah tauhid dan panggilan tersebut adalah pengakuan atas keislaman kaum muslimin hari itu .

(penjelasan Asy Syaikh Al ‘Allaamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin ketika ditanya tentang bagaimana kaum muslimin dapat merebut kembali Palestina dari tangan yahudi, dapat dilihat di: (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117).

Kalau kita lihat hari ini semua hal tersebut masih jauh dari kenyataan mengingat syirik masih mendominasi umat yang mengaku muslim hari ini. Entah perlu berapa lama lagi untuk mewujudkan Islam dan tauhid yang sebenarnya di tengah-tengah umat. Wallaahu a’lam.

Penulis: Dr. Sufyan bin Fuad Baswedan, MA.
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.

Kami lengkapi pula dengan pendapat dari Ulama Besar Madinah yakni, Syaikh Abdurrazaq Al Badr.


Referensi:
• Shahih Bukhari.
• Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
• Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
• Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
• Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
• (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Kesalahan Fatal Ustadz Abdul Somad Menurut Ulama

Ustadz Abdul Somad mempunyai kesalahan fatal yang tidak bisa dianggap sepele. Pasalnya, hal ini berkaitan dalam masalah prinsip aqidah yang tak bisa ditawar lagi. Bahkan, pendapat Ustadz Abdul Somad ini sudah jelas bertentangan dengan Al Qur'an, Hadits, Kesepakatan seluruh Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Perkara aqidah bukan masalah yang kecil. Bahkan, hal ini merupakan penentu diterimanya amal ibadah kita. Terlebih lagi, hal ini menyangkut keyakinan kita terhadap sang Pencipta, Allah yang Maha Tinggi di atas Arsy. Oleh karenanya, Ustadz Johan Saputra Halim, M.HI. dan Ustadz Dr. Firanda Andirja (Ulama Besar Doktor Lulusan Madinah/Pengajar Resmi Masjid Nabawi) mengkritisi pendapat Ustadz Abdul Somad seperti yang tertera dibawah ini.

Ustad Somad

FAKTA 7: USTADZ FIRANDA KRITIK USTADZ ABDUL SOMAD

Pada satu kesempatan, sebagaimana yang terekam dalam video pada tautan ini; https://youtu.be/iLrYf59yzcw, Ust. H. Abdul Somad, Lc., MA., –semoga Allah menjaganya— ditanya; “Di mana keberadaan Allah itu Pak Ustadz…??”. Jawaban Ustadz Somad hafizhahullah yang terurai kemudian, begitu jelas menggambarkan peta aqidah beliau dalam masalah Nama-Nama dan Sifat-Sifat​ Allah.

Mengawali jawabannya, Ustadz Abdul Somad membagi pemahaman orang terkait pertanyaan besar tersebut menjadi dua kelompok. Pertama; kelompok manusia yang mengatakan Allah itu berada di bumi bersama makhluk-Nya. Kedua; kelompok manusia yang menganggap Allah itu di atas, “duduk di atas kursi” (menit: 0.42). Demikian klasifikasi beliau. Kita sepakat bahwa kedua kelompok tersebut adalah kelompok yang sesat.

Selanjutnya, Ustadz Abdul Somad hafizhahullah mulai mengomentari anggapan batil kedua kelompok tersebut yang berujung pada kesimpulan bahwa ada kelompok ketiga yang paling benar dalam menyikapi pertanyaan “Di mana Allah..??”—menurut Ust. Somad hafizhahullah—. Yaitu kelompok Asy’ariyyah (Abul Hasan al-Asy’ary) yang mengatakan; “Allah itu ada tanpa tempat. Tidak berada di atas ‘Arsy-Nya, dan makna Istawaa adalah Istaulaa, yaitu berkuasa.”

Entahlah, apa yang menyebabkan Ust. Somad hafizhahullah tidak menyebutkan aqidah kelompok yang keempat dalam masalah ini, kelompok yang justru dihuni oleh Rasulullah ﷺ dan para Sahabatnya, juga para imam-imam Salaf yang lebih dulu masa hidupnya dibanding Abul Hasan al-Asy’ary rahimahullah.

Padahal jika merujuk kepada perkataan Abul Hasan al-Asy’ary rahimahullah dalam kitabnya, tegas sekali beliau menyebut bahwa takwilan Istaulaa adalah pendapat menyimpang sekte Mu’tazilah, sebagaimana akan Anda temukan nukilan ilmiahnya dalam tulisan ini.

Nantinya, dalam tulisan ini juga Anda akan menemukan beberapa nukilan ilmiah dari ucapan Abul Hasan al-Asy’ary dan pemuka Madzhab Asy’ariyyah terdahulu (mutaqaddimin) yang justru bertolak belakang 180 derajat dari apa yang diklaim oleh Ust. Somad hafizhahullah. Karena Abul Hasan al-Asy’ary dan al-Baqillani, yang merupakan tokoh salaf di kalangan Asya’iroh, justru menetapkan Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya.

Ust. Somad juga menukil dalam video tersebut ungkapan dari Imam at-Thahawi yang disalahartikan oleh beliau. Padahal jika merujuk ke sumber aslinya (al­-‘Aqidah at-Thahawiyyah), ternyata maksud Imam at-Thahawi jauh berbeda dengan apa yang diinginkan oleh Ust. Somad. Imam at-Thahawi justru menetapkan Allah itu di atas. Anda akan membaca bukti ilmiahnya dalam tulisan ini—Insya Allah—.

Selain itu, Ust. Somad juga menukil sebuah riwayat yang konon pernah diucapkan oleh Sayyidina ‘Ali radhiallahu’anhu. Namun sayang ternyata riwayat ini palsu, tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan validitasnya.

Ust. Somad hafizhahullah juga menyangka bahwa menetapkan sifat istiwaa’ bagi Allah berarti melazimkan tasybih (penyerupaan) antara Allah dengan makhluk yang tengah duduk di atas kursi, sehingga firman Allah yang menegaskan diri-Nya ber-istiwaa’ haruslah ditakwil menjadi Istaulaa (berkuasa). Padahal dalam kitab al-Jawahir al-Kalamiyyah, kitab karya Syaikh Thahir al-Jazairi yang lazim menjadi buku pegangan aqidah Asy’ariyyah di Pondok-Pondok Pesantren nusantara, dengan tegas menyebut bahwa penetapan keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya tanpa takyif adalah Madzhabnya Salaf, sementara takwil Istiwaa’ menjadi Istaulaa adalah Madzhabnya Khalaf (orang-orang belakangan, setelah generasi salaf). Dan berpegang dengan Madzhab Salaf dalam masalah ini—kata Syaikh Thahir—lebih selamat.

Baiklah, mari sejenak merunut kalimat demi kalimat yang diucapkan Ust. Somad hafizhahullah dalam video tersebut. Dengan mengharap pertolongan Allah, selanjutnya saya akan berusaha memberikan sedikit tanggapan dan catatan berdasarkan dalil-dalil syar’i dan penjelasan ulama Salaf terhadap beberapa kejanggalan ucapan beliau dalam video tersebut.

* * *

MENIT 00.52, Ust. Somad hafizhahullah menukil ungkapan—yang konon bersumber dari—Sayyidina ‘Ali;

الذي أين الأين لا يقال أنه أين

Ust. Somad hafizhahullah mengartikan; “Dia yang telah ada sebelum waktu dan tempat ada, maka tidak layak ditanya Dia berada di mana.”

* * *

TANGGAPAN:

Sisi Ke-1: Sayang Ust. Somad hafizhahullah tidak memberikan referensi sumber ucapan tersebut. Sehingga kita bisa mengecek sanad dan validitas penisbatannya pada ‘Ali radhiallahu’anhu. Namun dari hasil penelaahan, kalimat tersebut justru ramai di-share di forum diskusi kelompok Syi’ah. Seperti dalam Syi’ah Online Library (shiahonlinelibrary.com), ungkapan yang mirip kalimat tersebut termaktub dalam Syarh Ushul al-Kafi (3/215) namun penisbatannya bukan kepada ‘Ali radhiallahu’anhu, melainkan kepada Abu ‘Abdillah (Husein bi ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu). Sebagaimana dimaklumi bersama, Ushul al-Kafi merupakan salah satu kitab rujukan induk agama Syi’ah.

Uniknya lagi, kalimat tersebut banyak muncul di media-media Ahbasy. Salah seorang tokoh mereka bernama Nabil as-Syarif (https://youtu.be/OqA59hRYox8), menyebutkan ucapan ‘Ali tersebut, namun tanpa ada referensi dan sanad. Redaksinya adalah:

إن الذي أين الأين لا أين له، وإن الذي كيف الكيف لا كيف له

Dia yang menciptakan “di mana”, maka tidak bisa di tanya “Dia di mana..?”. Dia yang menciptakan “bagaimana”, maka tidak bisa ditanya “Dia bagaimana..?”.

Ucapan ‘Ali radhiallahu’anhu ini disebut-sebut diriwayatkan dalam kitab at-Tabshir fid-Din karya Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (wafat: 471-H). Setelah penulis melakukan kroscek, kalimat tersebut ada termaktub di hal. 161-162 (Cet.-1 ‘Alamul Kutub – Beirut, tahun 1403-H, yang ditahqiq oleh: Kamal Yusuf al-Huut). Namun lagi-lagi riwayat tersebut dituliskan tanpa sanad.

Alhasil, kalimat yang dinisbatkan kepada ‘Ali radhiallahu’anhu ini adalah riwayat yang tidak memiliki asal usul yang jelas. Secara ilmu periwayatan, tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam at-Tis’iniyyah (1/957, Tahqiq: Dr. Muhammad Ibrahim al-‘Ajlan) dengan tegas menyebutkan kedustaan penisbatan riwayat tersebut kepada ‘Ali radhiallahu’anhu berdasarkan kesepakatan ahlul ‘ilmi. Beliau sampai mengatakan riwayat ini tidak memiliki sanad sama sekali.

* * *

Sisi Ke-2: Kedustaan​ penisbatan ucapan tersebut pada ‘Ali radhiallahu’anhu semakin nampak jelas dengan adanya riwayat Shahih Muslim (no. 537) dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiallahu’anhu berikut ini:

وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ، فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ. قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أُعْتِقُهَا ؟ قَالَ : ” ائْتِنِي بِهَا “، فَأَتَيْتُهُ بِهَا. فَقَالَ لَهَا : ” أَيْنَ اللَّهُ ؟ ” قَالَتْ : فِي السَّمَاءِ. قَالَ : ” مَنْ أَنَا ؟ ” قَالَتْ : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ : ” أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ “.

Riwayat tersebut mengisahkan bahwa Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiallahu’anhu pernah menampar wanita jariyah-nya gara-gara keteledoran yang dilakukannya. Rasulullah​ ﷺ kurang berkenan dengan perilaku Mu’awiyah tersebut. Mu’awiyah yang merasa menyesal lantas berkata; “duhai Rasulullah, apa tidak kumerdekakan saja dia…?”. Rasullullah lantas meminta wanita tersebut dihadirkan.

Rasulullah kemudian menguji keimanan wanita tersebut dengan bertanya; “di mana Allah…?”, Wanita itupun menjawab; “di atas langit”. Nabi lanjut bertanya; “siapakah saya…?”. Wanita itu​ menjawab; “engkau adalah Rasulullah”. Seketika itu Rasulullah bersabda; “merdekakan dia, karena dia wanita yang beriman.”

Lihatlah bagaimana Rasulullah sendiri mencontohkan untuk bertanya; “di mana Allah…?”. Lantas, kenapa justru sebagian orang mengharamkan untuk bertanya “di mana Allah”…?? Dan justru menganggapnya sebagai bentuk tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk..?? Karena substansi makna dari pertanyaan “di mana Allah” dalam hadits Jariyah ini tidak mungkin untuk ditakwil, mereka pun berusaha melemahkan dan menjatuhkan hadits Jariyah ini (sebagaimana yang dilakukan oleh as-Saqqaf, al-Ghumari, dan al-Kautsari), padahal hadits tersebut termaktub dalam Shahih Muslim, kitab paling Shahih di muka bumi setelah al-Quran dan Shahih al-Bukhari.

Tak ada satupun ahli hadits besar terdahulu yang menolak kesahihan hadist Jariyah dalam Shahih Muslim ini. Imam Syafi’i berdalil menggunakan hadits ini dalam kitabnya ar-Risalah (hal. 75) dan al-Umm (5/298), juga dinukil oleh al-Baihaqi dalam Manaqib as-Syafi’i (1/394). Bahkan al-Baihaqi –yang banyak menjadi rujukan para pentakwil sifat di zaman ini—menshahihkan hadits ini dalam al-Asma’ was-Shifat (hal. 533). Ibnu Hajar juga menegaskan keshahihannya dalam Fathul Bari (13/359). Demikian pula dengan al-Baghawi dalam Syarhu as-Sunnah (3/43).

* * *

Sisi Ke-3: Sahabat pun pernah bertanya kepada Rasulullah di mana keberadaan Allah sebelum Dia menciptakan makhluk. Abu Razin radhiallahu’anhu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ: (كَانَ فِي عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ ، ثُمَّ خَلَقَ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ)

“Duhai Rasulullah, di manakah Rabb kita—azza wa jalla—sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya? Rasullullah menjawab: ”Dia berada dalam ‘amaa’ (kondisi di mana tak ada sesuatupun kecuali diri-Nya), tak ada apapun baik di bawah maupun di atas-Nya. Kemudian Dia menciptakan ‘Arsy-Nya di atas air.” [HR. at-Tirmidzi: 3109, Ibnu Majah: 182, Ahmad: 15755, dishahihkan oleh at-Thabari, dihasankan oleh at-Tirmidzi, ad-Dzahabi dan Ibnu Taimiyyah, di-dhaifkan oleh al-Albani, lih. islamqa.info/ar/184797]

Lihatlah, Rasulullah tidak mengingkari pertanyaan tersebut. Menunjukkan bahwa pertanyaan “di mana Allah?” tidaklah terlarang secara syar’i.

Sisi Ke-4: Ketika memberikan kesimpulan atas hadits tentang wanita jariyah Mu’awiyah bin al-Hakam di atas, Imam adz-Dzahabi as-Syafi’i (wafat: 748-H) berkata:

ففي الخبر مسألتان: إحداهما: شرعية قول المسلم: أين الله؟. ثانيهما: قول المسؤول: في السماء، فمن أنكر هاتين المسألتين فإنّما يُنكر على المصطفى

“Ada dua hal (yang bisa dipetik dari) hadits tersebut: pertama, bertanya “di mana Allah” adalah sesuatu yang disyariatkan. Kedua, jawaban (bagi) yang ditanya adalah: “di atas langit”. Siapa yang mengingkari kedua hal ini, maka dia telah ingkar kepada al-Mushthafa (Rasulullah).” [Mukhtashar al-‘Uluw, hal. 81]

Dengan demikian batallah pendalilan Ust. Somad hafizhahullah dengan ucapan—yang katanya bersumber dari—Sayyidina ‘Ali radhiallahu’anhu di atas, baik dari sisi sanad karena tidak jelas asal-usulnya, maupun dari sisi matan (redaksi) karena bertentangan maknanya dengan redaksi hadits yang shahih. Tidak heran jika ‘Abdul Ghani al-Maqdisi (wafat: 600-H) mengatakan—setelah membawakan hadits Jariyah di atas—:

ومن أجهل جهلاً وأسخف عقلاً وأضل سبيلاً ممن يقول: إنه لا يجوز أن يقال: أين الله!! بعد تصريح صاحب الشريعة بقوله: ((أين الله؟)

“Siapakah yang lebih jahil, yang lebih lemah akalnya, dan lebih sesat jalannya, dibanding orang yang berkata: ‘tidak boleh bertanya di mana Allah’, setelah Rasulullah sebagai pembawa syari’at justru bertanya: Allah ada di mana…??” [dinukil dari Aqaidu Aimmati as-Salaf, hal. 75, Fawwaz Ahmad Zumarli]

Simpulannya, ungkapan Ust. Somad hafizhahullah; “Dia tidak layak ditanya di mana”, jelas merupakan kebatilan. Namun sayang beribu sayang, justru beliau menggunakan ungkapan tersebut sebagai muqaddimah untuk mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya. Dan hal ini akan semakin nampak jelas pada ucapan beliau berikutnya.

* * *


MENIT 01.30: Ust. Somad hafizhahullah mengatakan: “….Allaahu munazzahun ‘anil jihat as-sitt, kata aqidah Thahawiyah. Allah itu suci dari enam arah…”

MENIT 01.43: Kemudian Ust. Somad hafizhahullah mengatakan: “Dia tak di atas, Dia tak di bawah”

* * *

TANGGAPAN:

Sisi Ke-1: Ust. Somad hafizhahullah sepertinya kurang tepat dalam menukil ungkapan Imam at-Thahawi (wafat: 321-H). Berikut ini adalah ungkapan beliau—rahimahullah—sebenarnya:

لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات

Artinya; “Allah itu tidak dilingkupi oleh arah yang enam sebagaimana halnya makhluk.” [Syarh al-‘Aqidah at-Thahawiyyah: 1/267, Cet. Mu-assasah ar-Risalah, 1417-H]

Sisi Ke-2: Di samping kurang tepat dalam menukil lafaz ungkapan Imam at-Thahawi, Ust. Somad hafizhahullah juga melakukan kekeliruan fatal dengan menyalahartikan maksud at-Thahawi. Maksud yang ingin dicapai oleh Ust. Somad adalah; menepis anggapan bahwa Allah itu di atas. Ini terbukti dari ucapan Ust. Somad sendiri pada MENIT 01.43; “Dia tak di atas, Dia tak di bawah”. Sementara at-Thahawi tidak memaksudkan demikian.

Untuk memahami maksud ungkapan at-Thahawi di atas, harus melihat juga ucapan beliau setelahnya. Dalam matan kitab yang sama (al-‘Aqidah at-Thahawiyyah), Imam Abu Ja’far at-Thahawi rahimahullah mengatakan:

وَالعَرْشُ وَالكُرْسِيُّ حَقٌّ، وَهُوَ مُسْتَغْنٍ عَنِ العَرْش وَمَا دُونَهُ، مُحِيطٌ بِكُلِّ شَىْءٍ وَفَوْقَهُ، وَقَدْ أعْجَزَ عَنِ الإِحَاطَةِ خَلقَهُ.

“al-‘Arsy dan al-Kursi itu benar adanya. Namun Allah tidak butuh pada ‘Arsy dan pada apa-apa yang ada di bawahnya. Allah meliputi segala sesuatu dan di berada di atasnya. Sungguh Dia telah menjadikan makhluk-Nya tidak mampu meliputi (hakikat-Nya).”

Dari ungkapan—yang terlewatkan oleh Ust. Somad ini—nampak jelas sekali bahwa at-Thahawi tidak memaksudkan seperti yang dimaksudkan oleh Ust. Somad. Sama sekali tidak nyambung, antara penjelasan Ust. Somad hafizhahullah dengan maksud yang diinginkan oleh at-Thahawi rahimahullah.

Sisi Ke-3: Agar lebih jelas lagi apa maksud ucapan at-Thahawi tersebut, mari simak komentar Ibnu ‘Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah (wafat: 792-H) selaku pen-syarah ‘Aqidah Thahawiyyah berikut ini:

وَقَوْلُ الشَّيْخِ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ) هُوَ حَقٌّ، بِاعْتِبَارِ أَنَّهُ لَا يُحِيطُ بِهِ شَيْءٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ، بَلْ هُوَ مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ. وَهَذَا الْمَعْنَى هُوَ الَّذِي أَرَادَهُ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ، لِمَا يَأْتِي فِي كَلَامِهِ: أَنَّهُ تَعَالَى مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ. فَإِذَا جُمِعَ بَيْنَ كَلَامَيْهِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ) وَقَوْلُهُ: (مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ) عُلِمَ أَنَّ مُرَادَهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَحْوِيهِ شَيْءٌ، وَلَا يُحِيطُ بِهِ شَيْءٌ، كَمَا يَكُونُ لِغَيْرِهِ مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ، وَأَنَّهُ تَعَالَى هُوَ الْمُحِيطُ بِكُلِّ شَيْءٍ، الْعَالِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ.

لَكِنْ بَقِيَ فِي كَلَامِهِ شَيْئَانِ:

أَحَدُهُمَا : أَنَّ إِطْلَاقَ مِثْلَ هَذَا اللَّفْظِ – مَعَ مَا فِيهِ مِنَ الْإِجْمَالِ وَالِاحْتِمَالِ – كَانَ تَرْكُهُ أَوْلَى، وَإِلَّا تَسَلَّطَ عَلَيْهِ، وَأَلْزَمَ بِالتَّنَاقُضِ فِي إِثْبَاتِ الْإِحَاطَةِ وَالْفَوْقِيَّةِ وَنَفْيِ جِهَةِ الْعُلُوِّ، وَإِنْ أُجِيبَ عَنْهُ بِمَا تَقَدَّمَ، مِنْ أَنَّهُ إِنَّمَا نَفَى أَنْ يَحْوِيَهُ شَيْءٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ، فَالِاعْتِصَامُ بِالْأَلْفَاظِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْلَى.

“Ungkapan Syaikh (at-Thahawi) rahimahullah; (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ), adalah ungkapan yang haq jika dilihat dari sisi; Allah itu tidak diliputi oleh sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya, Allah-lah yang meliputi segala sesuatu, dan sekaligus Dia berada di atas segala sesuatu tersebut. Inilah makna yang diinginkan oleh Syaikh (at-Thahawi) rahimahullah, dengan indikasi ucapan beliau; (أَنَّهُ تَعَالَى مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ), “Dia itu Maha Tinggi, meliputi segala sesuatu, dan Dia berada di atas segala sesuatu”. Jika kedua ucapan beliau ini, yaitu ucapan (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ) dan (مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ) digabung dan dikompromikan, maka bisa diketahui bahwa maksud beliau adalah; tak satupun yang melingkupi Allah dan tak satupun yang meliputi-Nya, tidak sebagaimana makhluk (yang bisa dilingkupi dan diliputi oleh sesuatu). Dialah yang Maha Tinggi, Dialah yang justru meliputi segala sesuatu, yang Maha Tinggi di atas segala sesuatu.

Namun pada ucapan beliau (at-Thahawi) ini, tersisa dua permasalahan. Salah satunya adalah; bahwa melepas begitu saja ungkapan semacam ini tanpa penjelasan dan perincian—sementara ia masih bermakna global dan bersifat multi tafsir—, sebaiknya yang demikian ini ditinggalkan. Karena jika tidak, ungkapan seperti ini bisa dieksploitir. Sehingga menimbulkan makna yang kontradiktif; antara peniadaan jihah (arah) dengan penetapan bahwa Dia di atas. Sekalipun bisa dijawab dengan jawaban di atas (bahwa maksudnya adalah; Allah itu tidak diliputi oleh sesuatu apapun), namun tetap saja berpegang teguh pada lafaz-lafaz yang syar’i itu jauh lebih baik.” Selesai nukilan dari penjelasan Ibnu Abil ‘Izz. [lih. Syarh al-‘Aqidah at-Thahawiyyah: 1/267-268, Cet. Mu-assasah ar-Risalah, 1417-H]

Adapun Syaikh Bin Baz rahimahullah, memberikan komentarnya sebagai berikut:

” مراده الجهات الست المخلوقة، وليس مراده نفي علو الله واستوائه على عرشه، لأن ذلك ليس داخلاً في الجهات الست، بل هو فوق العالم ومحيط به، وقد فطر الله عباده على الإيمان بعلوه سبحانه، وأنه في جهة العلو “.

“Yang beliau (at-Thahawi) maksudkan adalah; makhluk berupa arah yang enam (yaitu; atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang). Beliau tidak bermaksud menafikan ketinggian Allah dan Istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy. Karena ketinggian Allah dan Istiwaa’-Nya tersebut tidak termasuk dalam cakupan arah yang enam. Bahkan Allah itu di atas alam, dan Dia meliputinya. Allah telah menanamkan fitrah kepada hamba-hamba-Nya di atas keimanan akan ketinggian-Nya. Bahwasanya Dia berada di atas.” [at-Ta’liqat al-Atsariyyah ‘ala al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, hal. 16. Berdasarkan penomoran Syamilah]


Jika Ust. Somad hafizhahullah sudi kiranya merenungkan jawaban Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat: 728-H) berikut ini, niscaya perkaranya akan lebih jelas dan gamblang, bahwa penafian “jihah” pada keberadaan Allah itu tidak bisa ditolak dan tidak juga bisa diterima mentah-mentah, perlu perincian. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:

” يُقَالُ لِمَنْ نَفَى الْجِهَةَ: أَتُرِيدُ بِالْجِهَةِ أَنَّهَا شَيْءٌ مَوْجُودٌ مَخْلُوقٌ؟ فَاَللَّهُ لَيْسَ دَاخِلًا فِي الْمَخْلُوقَاتِ. أَمْ تُرِيدُ بِالْجِهَةِ مَا وَرَاءَ الْعَالَمِ؟ فَلَا رَيْبَ أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ الْعَالَمِ مُبَايِنٌ لِلْمَخْلُوقَاتِ .

وَكَذَلِكَ يُقَالُ لِمَنْ قَالَ: اللَّهُ فِي جِهَةٍ: أَتُرِيدُ بِذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ الْعَالَمِ؟ أَوْ تُرِيدُ بِهِ أَنَّ اللَّهَ دَاخِلٌ فِي شَيْءٍ مِنْ الْمَخْلُوقَاتِ؟ فَإِنْ أَرَدْت الْأَوَّلَ فَهُوَ حَقٌّ ، وَإِنْ أَرَدْت الثَّانِيَ فَهُوَ بَاطِلٌ.

“Kepada mereka yang menolak jihah (arah), kita katakan: ‘apa yang anda maksud dengan jihah? Apakah ia adalah sesuatu yang ada berwujud makhluk? (Jika ya), maka Allah tidaklah berada di dalam (atau dilingkupi oleh) makhluk-Nya. Atau jika yang anda maksud dengan jihah adalah apa yang ada di balik alam? Maka tidak ragu lagi bahwa Allah itu di atas alam (tidak di dalam alam), terpisah dari segenap makhluk-Nya.

Demikian pula dikatakan kepada orang yang mengatakan, ‘Allah berada pada suatu jihah (arah)’; apakah anda memaksudkan (dengan perkataan tersebut) bahwa Allah itu berada di atas alam? Atau anda memaksudkan bahwa Allah berada di dalam (atau diliputi oleh) makhluk-Nya? Jika anda memaksudkan yang pertama, maka itulah yang benar. Namun jika anda memaksudkan yang kedua, maka itulah yang batil.” [Majmu’ al-Fatawa: 3/42]

Simpulannya; apa yang dimaksudkan oleh at-Thahawi jauh berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Ust. Somad hafizhahullah. Fatal sekali, justru Ust. Somad hafizhahullah menarik ucapan at-Thahawi ke arah yang berlawanan dengan maksud at-Thahawi sendiri.

* * *



MENIT 02.05: Ust. Somad hafizhahullah berkata; “Kalau Dia bisa ditunjuk, ‘di mana Allah’. Allah ada di atas, maka batallah ayat;

ولم يكن له كفوا أحد

Dan tidak ada seorangpun yang setara (semisal) dengan-Nya.

Kalau bisa Dia ditunjuk, Allah di atas, berarti sama dengan lampu di atas.

* * *

TANGGAPAN

Sisi Ke-1: Ketika di Haji Wada’, Nabi berkhutbah di ‘Arafah. Setelah menyampaikan khutbahnya, disebutkan bahwa:

فقال بأصبعِه السبابةِ يرفعُها إلى السماءِ ويُنْكِتُها إلى الناسِ: اللهمَّ اشهد، اللهمَّ اشهدْ

“Nabi mengangkat telunjuknya ke arah langit lalu mengarahkannya kepada manusia (di hadapannya) seraya berkata: ‘Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah,….” [Abu Dawud: 1/358, no. 1905, lih. Shahih Sunan Abi Dawud no. 1905]

Sisi Ke-2: Dalam Shahih al-Bukhari (3/873, no. 1739) disebutkan bahwa Nabi menengadahkan kepalanya ke langit sambil berkata; “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan?, Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan?.”

Riwayat tersebut dijadikan dalil oleh para ulama bahwa Allah itu di atas [lih. Al-‘Aqidatu Fillah, hal. 192, Cet.-12 Darun Nafais, 1419-H, Dr. Sulaiman ‘Umar al-Asyqar]

Nabi menetapkan bahwa Allah di atas, bahkan beliau mengisyaratkan dengan telunjuk dan kepala beliau ke arah atas. Dengan sikap Nabi yang demikian ini, apakah kita akan mengatakan bahwa Nabi telah menyetarakan Allah dengan awan yang juga berada di atas…?? Tentu tidak. Maha Suci Allah.

Sisi Ke-3: Sahabat yang mulia ‘Umar bin al-Kaththab radhiallahu’anhu juga pernah mengisyaratkan pada Allah dengan menunjuk ke atas langit. Sebagaimana dalam riwayat berikut Ibnu Abi Syaibah (wafat: 235-H) berikut ini:

لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا: يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم، فقال عمر: لا أراكم ههنا، إنما الامر من ههنا – وأشار بيده إلى السماء

Tatkala ‘Umar datang ke negeri Syam, orang-orang lantas menemuinya. Saat itu beliau tengah berada di atas ontanya. Orang-orang itu berkata: “Wahai Amirul-Mukminin, sekiranya engkau mengendarai kuda yang gagah lagi tegap, niscaya para pembesar dan para tokoh akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab: “Aku tidak memandang pada perintah kalian. Perintah itu hanya datang dari sana—seraya mengisyaratkan tangannya ke langit” [lih. Al-Mushannaf Ibn. Abi Syaibah, jilid 19/no. 36111, tahqiq: Syaikh Prof. Dr. Sa’ad asy-Syatsri, Dar Kunuz Isybilia, Cet. 1/1436-H, dan pen-tahqiq menyatakan riwayat ini shahih]

Imam adz-Dzahabi asy-Syafi’i dalam kitabnya al-‘Uluw (hal. 62) menyebut sanad riwayat ini dengan ungkapan “isnaduhu kasy-syams” (sanadnya sejelas matahari). Syaikh al-Albani dalam Mukhtashar al-‘Uluw (no. 46 hal. 102-103) menyebutkan bahwa riwayat ini shahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim. [lih. Itsbat Shifatil ‘Uluw, hal. 149, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq: Dr. Ahmad ‘Athiyyah al-Ghamidi, Maktabah al-‘Ulum wal Hikam, Cet. 1/1409-H]

Riwayat dari ‘Umar ini sangat jelas menunjukkan bahwa menunjuk ke arah langit untuk mengisyaratkan keberadaan Allah yang Maha Tinggi di atas, bukanlah hal yang terlarang di mata Sahabat, tidak sebagaimana anggapan Ust. Somad hafizhahullah.

Sisi Ke-4: Adanya kesamaan penyebutan sifat tidak melazimkan kesamaan dalam hakikat sifat. Hakikat keberadaan Allah yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, tentu jauh beda dengan lampu di atas yang dijadikan permisalan oleh Ust. Somad. Lagi pula, untuk bisa berada di atas, lampu butuh untuk melekat atau bergantung pada benda lain. Sementara tak ada satu pun ulama salaf (yang menetapkan Allah itu di atas) yang menganggap Allah itu butuh kepada langit atau melekat pada ‘Arsy-Nya.

Lantas, siapa sebenarnya yang melakukan tasybih…??

* * *

MENIT 02.48: Ust. Somad hafizhahullah mengatakan: “lalu apa makna; ‘Allah duduk di atas kursi’..??”

MENIT 02.53: Ust. Somad lanjut mengatakan; “maknanya adalah ‘kuasa’. Itu makna ‘ar-Rahmaanu ‘alal ‘Arsys-tawaa’, (demikian) kata aqidah Asy’ariyyah, Abul Hasan al-Asy’ary.”

* * *



TANGGAPAN

Sisi Ke-1: Tak satupun ulama Salaf yang menetapkan Allah di atas, yang lantas memaknai ayat (الرحمن على العرش استوى) dengan ungkapan; “Allah duduk di atas kursi”. Namun justru Ust. Somad yang memaknainya demikian. Lagi-lagi ini memunculkan pertanyaan:

Siapa sebenarnya yang telah melakukan tasybih…??

Siapakah di antara ulama salaf yang menafsirkan “ar-Rahmaanu ‘alal ‘Arsys-tawaa” dengan ungkapan; “Allah duduk di atas kursi”…?? Jika ada, di manakah kita bisa mendapati tafsiran tersebut dalam kutub turatsiyyah (kitab-kitab terdahulu) para imam ahlussunnah…?? Di manakah kita bisa menemukan tafsiran tersebut dari kitab-kitab Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahumullahu jami’an…?? Jika tidak ada, maka jangan-jangan tafsiran tersebut hanya ungkapan Ust. Somad sendiri untuk menggiring opini umat bahwa menetapkan Allah di atas ‘Arsy melazimkan membayangkan Allah duduk di atas kursi…??

Sisi Ke-2: Melalui takwil (istawaa menjadi istaulaa) beliau di atas, jelas sekali bagaimana Ust. Somad telah melakukan tahrif atau mengubah makna tanpa dalil atau qorinah yang kuat. Inilah jenis takwil yang terlarang. Bukan cuma tanpa qorinah yang kuat, produk takwil tersebut justru berlawanan dengan banyak dalil-dalil qath’i yang ada.

Tidakkah Ust. Somad menyadari bahwa panutan beliau dalam masalah aqidah, Abul Hasan al-Asy’ary rahimahullah, justru menyebut takwil Istiwaa’ (tinggi di atas) menjadi Istaulaa (berkuasa) sebagai produk takwil sekte Mu’tazilah…??

Dalam kitabnya, Maqalatul Islamiyyin, Imam Abul Hasan al-Asy’ary rahimahullah (wafat: 324/330-H) mengatakan:

وقالت المعتزلة أن الله استوى على عرشه بمعنى استولى

“Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa makna ‘Allah itu ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya’ adalah; Istaulaa (berkuasa).” [lih. Maqalatul-Islamiyyin: 1/261, tahqiq: M. Muhyiddin ‘Abdul Hamid].

Dalam kitabnya yang lain, Risalatun Ila Ahli ats-Tsagar, Abul Hasan al-Asy’ary juga mengatakan:

وليس استواؤه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر لأنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء

“Istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy tidaklah bermakna Istaulaa (berkuasa), sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul Qadr (Mu’tazilah). Karena Allah itu senantiasa berkuasa atas segala sesuatu.” [lih. Risalatun Ila Ahli ats-Tsagar, hal. 234, tahqiq: tahqiq : ‘Abdullah bin Syakir Al-Junaidy; Maktabah al-‘Ulum wal Hikam, Cet. 2/1422-H]

Sementara dalam kitab terakhirnya, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (hal. 83-84), Abul Hasan al-Asy’ary memaparkan bahwa takwil Istiwaa’ menjadi Istaulaa akan menghilangkan keistimewaan ‘Arsy. Sehingga tak ada bedanya ‘Arsy dengan bumi, jika Istawaa ‘alal ‘Arsy dimaknai Istaulaa ‘alal ‘Arsy (berkuasa atas ‘Arsy). Tak ada bedanya ‘Arsy dengan tempat-tempat yang kotor. Karena Allah juga “berkuasa” atas semua tempat di muka bumi, termasuk tempat-tempat yang kotor. [lih. Tabshiru Dzawil ‘Uqul bi-Haqiqati Madzhabil Asya’irah fil Istidlal bi-Kalamillahi war-Rasul, hal. 101-102, Dr. Ahmad Muhammad an-Najjar, Cet. 1/1431-H]

Lihatlah, justru menurut Imamnya Madzhab Asy’ariyyah, penakwilan Istiwaa’ menjadi Istaulaa (kuasa)—sebagaimana takwil yang dilakukan oleh Ust. Somad—adalah pendapat sekte Mu’tazilah. Namun justru Ust. Somad hafizhahullah salah alamat dengan mengatakan ini adalah aqidahnya Abul Hasan al-‘Asy’ary. Padahal tokoh-tokoh Asy’ariyyah mengakui bahwa beliau berpendapat demikian (yakni: menetapkan Allah di atas ‘Arsy), seperti ar-Razy (lih. Muhashshilu Afkar al-Mutaqaddimin wal Muta-akhkhirin, hal: 437), dan al-Amidy (lih. Abkarul Afkar: 1/461). Namun sayang keduanya justru menyelisihi pendapat sang guru.

Sisi Ke-3: Simak juga perkataan al-Baqillani rahimahullah (wafat: 402-H), seorang tokoh besar Mazhab Asy’ariyyah, berikut ini:

ونقول: استواؤه لا يشبه استواء الخلق

“Kami mengatakan: ‘Istiwaa’-Nya tidak sama dengan istiwaa’ makhluk.” [lihat kitab beliau; al-Inshaf fima Yajibu I’tiqaduhu, hal. 64]

Lihatlah bagaimana al-Baqillani menetapkan sifat Istiwaa’ bagi Allah tanpa tasybih. Juga, beliau tidak menakwilkannya menjadi Istaulaa.

Jadi sebenarnya, dalam ber-mazhab Asy’ary pun, Ust. Somad tidak mengikuti Salaf-nya ‘Asya’iroh. Yang diikuti oleh Ust. Somad dalam masalah ini bukanlah Abul Hasan al-Asy’ary dan pembesar Asya’iroh terdahulu (mutaqaddimin), melainkan tokoh-tokoh Asya’iroh yang hidup belakangan (muta-akhkhirin) semisal ar-Razy yang wafat tahun 606-H (lih. Asas at-Taqdis: 202-203).

* * *

Sisi Ke-4: Mari sejenak membaca kisah yang menakjubkan berikut ini. Agar semakin nampak jelas kesalahan fatal orang-orang yang mentakwil istawaa menjadi istaulaa.

Abu Sulaiman bin Dawud rahimahullah menuturkan:

“Suatu ketika kami berada di sisi Ibnul A’rabi (wafat: 231-H). Tiba-tiba seorang laki-laki datang lantas bertanya: ‘apa makna firman Allah ini…??:

ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy. [QS. Thaha: 5]

Ibnul A’rabi rahimahullah menjawab:

هو على عرشه كما أخبر عز و جل

“Maknanya; Dia berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia—‘azza wa jalla—kabarkan.”

Laki-laki itu lantas menimpali:

يا أبا عبد الله ليس هذا معناه، إنما معناه استولى

“Wahai Abu ‘Abdillah (Ibnul A’rabi), bukan itu maknanya. Akan tetapi maknanya adalah Istaulaa (Dia berkuasa).”

Ibnul A’rabi menjawab:

اسكت! ما أنت وهذا لا يقال: استولى على الشيء إلا أن يكون له مضاد فإذا غلب أحدهما قيل: استولى

“Diam kamu! Apa taumu dalam masalah ini..?! Tidaklah dikatakan seseorang ‘istaulaa’ (menguasai) sesuatu melainkan dia memiliki lawan (sengketa). Jika salah seorang di antara keduanya berhasil mengalahkan yang lain, barulah dia dikatakan ‘istaulaa’ (telah menguasai).”

Kisah tersebut shahih, diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam Syarh Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (3/399, no. 666, tahqiq: Ahmad bin Mas’ud Hamdan).

Berdasarkan penjelasan Imam Ibnul A’rabi tersebut, maka secara bahasa, mustahil kita akan menakwil istiwaa’ dengan makna istaulaa. Karena akan melahirkan konsekuensi makna yang batil, bahwa Allah sebelumnya tidak berkuasa atas ‘Arsy. Dia baru berkuasa (istaulaa) terhadap ‘Arsy setelah Dia merebutnya dari selain-Nya. Maha Suci Allah dari sifat yang demikian.

* * *

Sisi Ke-5: Adapun ucapan-ucapan para Imam Salaf—yang lebih dulu daripada Abul Hasan al-Asy’ary—tentang penetapan mereka atas sifat istiwaa’ bagi Allah, maka jumlah mereka sangatlah banyak. Semuanya menetapkan, bahwasanya Allah itu tinggi di atas ‘Arsy tanpa takyif (membagaimanakannya), tanpa tasybih dan tamtsil (menyerupakan atau memisalkannya dengan istiwaa’-nya makhluk), tanpa tahrif (merubah lafaz atau maknanya dengan takwil). Mereka menolak takwilan-takwilan Mu’tazilah dan ta’thil Jahmiyyah yang mengarah kepada penolakan bahwa Allah itu berada di atas ‘Arsy.


Di antara mereka ada nama-nama besar seperti;

1. Imamul Maghazi Muhammad bin Ishaq (wafat: 150-H). Lihat ucapan beliau dalam kitab: al-‘Azhamah (2/460), karya Abus-Syaikh al-Ashbahani.
2. Imam Abu Hanifah (wafat: 150-H). Lihat ucapan beliau dalam kitab: Syarh al-Fiqh al-Akbar (hal. 25), karya Abu Manshur al-Maturidi. Muraja’ah: Abdullah bin Ibrahim al-Anshari. Cet. India – 1321-H.
3. Imam Malik bin Anas (wafat: 179-H). Lihat nukilan ucapan beliau dalam kitab: al-Asma was-Shifat (2/305-306), oleh al-Baihaqi. Juga dalam As-Sunnah (1/280), oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
4. Imam Hammad bin Zaid (wafat: 179-H). Lihat ucapan beliau dalam kitab: Siyar A’lamin Nubala (7/461), oleh adz-Dzahabi. Al-‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar (hal. 143), juga oleh adz-Dzahabi.
5. Imam Ibnul Mubarak (wafat: 181-H). Lihat nukilan ucapan beliau dalam kitab: as-Sunnah (1/111), oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Juga dalam kitab: ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah (hal. 40), karya ad-Darimi.
6. Imam Abu Yusuf al-Qadhi (wafat: 182-H). Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah. Lihat nukilan ucapan beliau dalam kitab: Syarh al-Fiqh al-Akbar (hal. 25), karya Abu Manshur al-Maturidi.
7. Imam bin al-Hasan asy-Syaibani (wafat: 189-H). Beliau juga murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah. Lihat nukilan ucapan beliau dalam kitab: Syarh al-Fiqh al-Akbar (hal. 25), karya Abu Manshur al-Maturidi.
8. Imam asy-Syafi’i (wafat: 204-H). Lihat nukilan pendapat beliau dalam kitab: ‘Aqidatus Salaf wa Ashhabul Hadits (hal. 118 dan 189), oleh ash-Shabuni.
9. Imam Sa’id bin ‘Amir ad-Dhaba’i (wafat: 208-H). Beliau adalah salah seorang guru dari Imam al-Bukhari. Lihat nukilan pendapat beliau dalam kitab: Khalqu Af’alil ‘Ibad (2/17), oleh Imam al-Bukhari.
10. Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyabi (wafat: 212-H). Beliau juga salah seorang guru Imam al-Bukhari. Beliau ini bahkan sampai menganggap kafir orang yang menolak Allah itu di atas ‘Arsy. Lihat kitab: Khalqu Af’alil ‘Ibad (2/39), oleh Imam al-Bukhari.

Termasuk juga nama-nama besar ini; Imam Qutaibah bin Sa’id (wafat: 240-H), Imam Ahmad bin Hanbal (wafat: 241-H), Imam Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli (wafat: 258-H), Imam Zur’ah ar-Razi (wafat: 264-H), Imam al-Muzani asy-Syafi’i (wafat: 264-H), Imam Abu Hatim ar-Razi (wafat: 277-H), Imam ‘Isa at-Tirmidzi (wafat: 279-H), Imam al-Kirmani (wafat: 280-H), Imam ‘Utsman ad-Darimi (wafat: 280-H), Imam Bakr bin Abi ‘Ashim (wafat: 287-H), Imam Ja’far bin Abi Syaibah (wafat: 297-H), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di antara murid-murid Imam asy-Syafi’i—selain al-Muzani yang telah disebutkan di atas—ada nama-nama besar seperti; Imam Bakr al-Humaidi asy-Syafi’i (wafat: 219-H), Imam Ya’qub al-Buwaithi asy-Syafi’i (wafat: 231-H), Imam bin Suraij asy-Syafi’i (wafat: 306-H), Imam Ibnu Khuzaimah asy-Syafi’i (wafat: 312-H), dan lain-lain (lihat Ta’liqah ‘ala Syarhis Sunnah lil Imam al-Muzani, hal. 10-19, Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr).

Mereka semuanya mengikuti jejak sang guru (Imam asy-Syafi’i) dalam menetapkan ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya.

* * *

REFLEKSI

Al-Qur’an banyak sekali memuat ayat-ayat yang semua maknanya bermuara pada satu titik kesimpulan; bahwa Allah itu di atas, Maha Tinggi Dzat dan sifat-Nya. Terkadang al-Quran mengisyaratkan keberadaan Allah di atas dengan menyebut sifat-Nya yang Maha Tinggi, seperti dalam ayat-ayat berikut ini:

وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ

“Dialah yang Maha Tinggi dan Maha Agung” [QS. al-Baqarah: 255]

سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى

“Sucikanlah nama Rabbmu yang Maha Tinggi.” [QS. al-A’la: 1]

Terkadang al-Quran dengan tegas berbicara tentang “al-Fauqiyyah” yang menyebut Allah itu berada “fauq”, yaitu di atas. Seperti pada ayat ini:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka (para malaikat itu) takut kepada Tuhan mereka yang ada di atas mereka.” [QS. an-Nahl: 50]

Terkadang al-Quran mengungkapkannya dalam konteks ayat-ayat Allah yang diturunkan dari-Nya, dan urusan-urusan-Nya yang diatur dari langit ke bumi. Seperti dalam ayat:

يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍۢ كَانَ مِقْدَارُهُۥٓ أَلْفَ سَنَةٍۢ مِّمَّا تَعُدُّونَ

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” [QS. as-Sajdah: 5]

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran.” [QS. al-Hijr: 9]

Terkadang al-Quran menyebutkan bahwa amalan-amalan yang baik naik kepada-Nya, demikian pula dengan naiknya para Malaikat menuju Allah. Seperti dalam ayat:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلْعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya…” [QS. Fathir: 10]

تَعْرُجُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍۢ كَانَ مِقْدَارُهُۥ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍۢ

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” [QS. al-Ma’arij: 4]

Semua ayat ini—dan masih banyak lagi yang lainnya—kendati dalam konteks yang berbeda-beda, begitu selaras dalam memberikan konklusi makna yang sama, bahwasanya; Allah itu di atas. Belum lagi jika kita bicara hadits-hadits yang begitu banyak jumlahnya, yang tegas dan lugas menyebut Allah di atas langit, ber-istiwaa di atas ‘Arsy-Nya.

Jika sifat Allah yang satu ini harus ditolak, maka konsekuensinya akan ada banyak ayat dan hadits shahih yang harus ditolak atau harus ditakwil maknanya. Juga akan muncul anggapan batil bahwa Allah berbicara lain, namun memaksudkan yang lain. Sementara tidak ada satupun riwayat yang menyebut bahwa Nabi pernah mentakwil atau menafsirkan ayat-ayat tersebut kepada makna yang lain.

* * *

Kita hanya menetapkan Allah berada di atas, Maha Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, semata-mata karena Allah sendiri yang mengabarkan hal tersebut dalam banyak ayat al-Quran. Pantaskah ketika Allah berfirman tentang diri-Nya:

أأمنتم من في السماء

“Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit…” [QS. al-Mulk: 16]

kemudian dengan lancangnya kita justru menolak keberadaan Allah di atas langit…??

قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ

“Katakanlah, siapakah yang lebih tahu, Allah atau kalian…??” [QS. Al-Baqarah: 140]

Rasullullah juga demikian. Beliau menetapkan keberadaan Allah di atas ‘Arsy dalam banyak hadits yang Shahih. Kisah Mi’raj beliau adalah sebesar-besar dalil akan keberadaan Allah yang Maha Tinggi di atas segenap makhluk-Nya.

Lantas, apakah kita akan mengatakan Allah itu tidak berada di atas, sementara menurut Ibnu ‘Abil ‘Izz al-Hanafi (wafat: 792-H) dalam Syarh Aqidah at-Thahawiyyah (1/312, 2/191); ada lebih dari 1000 dalil yang menyebut Allah itu Maha Tinggi dan berada di atas…?? Apakah kita akan menolak keberadaan Allah di atas langit hanya karena persangkaan akal kita yang dhaif lagi kerdil…?? Inilah aqidah ahlussunah sejati tentang sifat-sifat Allah.

* * *

Pertanyaan “di mana Allah”, dan jawaban “Allah di atas langit”, tidak berarti menyamakan Allah dengan makhluk, tidak berarti menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk yang lazim menempati ruang. Juga bukan berarti menganggap Allah itu butuh tempat, atau dilingkupi oleh makhluk ciptaan-Nya berupa tempat atau ruang. Perkaranya tidak sebagaimana yang diungkapkan oleh Ust. Somad pada MENIT 02.38: “Kalau Allah itu duduk di atas kursi (baca: ‘Arsy), berarti kursi itu lebih besar daripada Dia.”

Padahal—sekali lagi—menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy tidak melazimkan Allah itu butuh kepada ‘Arsy, tidak juga berkonsekuensi ‘Arsy itu lebih besar daripada Allah. Bukankah langit—yang berada di atas bumi—jauh lebih besar daripada bumi…?? Kendati demikian, langit tidak butuh bumi sebagai tumpuan untuk tetap eksis. Padahal langit adalah makhluk. Maka bagaimana lagi dengan al-Khaliq…??

* * *

Dalam sebuah kitab aqidah Asy’ariyyah yang masyhur dan lazim dijadikan pegangan di Pondok-Pondok Pesantren Nusantara, al-Jawahir al-Kalamiyyah, karya Syaikh Thahir al-Jazairi (wafat: 1338-H/1920-M), termaktub pertanyaan sebagai berikut:

ما المراد بالاستواء في قوله سبحانه وتعالى: الرحمن على العرش استوى

“Apa maksud ‘istiwaa’ dalam firman Allah subhanahu wata’ala: ‘Ar-Rahman ber-istiwaa di atas ‘Arsy”..??

Syaikh Thahir al-Jazairi rahimahullah lantas menuliskan jawabannya:

المراد به استواء يليق بجلال الرحمن جل وعلى. فالاستواء معلوم والكيف مجهول. استواؤه على العرش ليس كاستواء الإنسان على السفينة أو الدابة أو السرير مثلا. فمن تصور مثل ذلك فهو ممن غلب عليه الوهم لأنه شبه الخالق بالمخلوقات مع أنه قد ثبت في العقل والنقل أنه ليس كمثله شيء، فكما أن ذاته لا تشابه ذات شيء من المخلوقات كذلك ما ينسب إليه سبحانه وتعالى لا تشابه شيئا مما ينسب إليها.

Maksudnya adalah; Istiwaa’ yang layak dengan keagungan ar-Rahman yang​ Maha Mulia lagi Maha Tinggi. Makna Istiwaa’ sudah diketahui (yaitu; tinggi di atas), sementara bagaimana (hakikatnya) adalah perkara yang tidak diketahui. Istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy, tidaklah seperti Istiwaa’-nya manusia di atas bahtera atau di atas hewan, atau di atas ranjang misalkan. Siapa yang memiliki gambaran demikian (pada dirinya), maka dia telah keliru karena dia telah menyamakan Allah Sang Pencipta dengan makhluk. Padahal akal dan naql (al-Quran & as-Sunnah) telah menetapkan bahwa tidak ada suatu apapun yang semisal dengan-Nya.

Sebagaimana dzat-Nya sedikit pun tidak sama dengan dzat makhluk, maka demikian pula dengan (sifat-sifat-Nya) yang dinisbatkan pada diri-Nya (jelas tidak sama dengan sifat makhluk). [lih. al-Jawahir al-Kalamiyyah, hal. 11-12]

Syaikh Thahir al-Jazairi rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’ bagi Allah, dan beliau tidak men-tasybih Istiwaa’-nya Allah dengan Istiwaa’-nya makhluk. Karena memang, kesamaan nama atau makna sifat tidak melazimkan adanya kesamaan hakikat pada sifat tersebut. Aqidah Asy’ariyyah mengakui Allah punya sifat mendengar dan melihat (sami’un bashir), makhluk juga punya sifat yang sama. Lantas, bagaimana konsep teologi Asy’ariyyah menjawab “kesamaan” tersebut? Masih dalam kitab al-Jawahir, Syaikh Thahir memberikan jawabannya:

لكن سمعه سبحانه وتعالى ليس كسمعنا… بصره سبحانه وتعالى ليس كبصرنا

“akan tetapi pendengaran-Nya subhanahu wata’ala tidak seperti pendengaran kita… penglihatan-Nya juga tidak seperti penglihatan kita.” [lih. al-Jawahir al-Kalamiyyah, hal. 9]

Jika konsep teologi Asy’ariyyah bisa menerima Allah itu mendengar dan melihat tanpa harus sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk, lantas mengapa Ust. Somad hafizhahullah tidak bisa menerima Allah itu ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy tanpa harus sama dengan istiwaa’-nya makhluk…??

Demikianlah, menetapkan sifat Allah yang sepintas memiliki kesamaan dengan sifat makhluk, bukan berarti melazimkan bahwa hakikat sifat Allah itu sama dengan sifat makhluk. Konsep ini yang tampaknya luput dari Ust. Somad hafizhahullah, sehingga beliau menganggap orang yang menetapkan Allah di atas berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk.

Sebagaimana Dzat Allah itu ada namun tidak sama dengan keberadaan dzat makhluk, maka sifat Allah yang melekat pada Dzat-Nya sudah pasti tidak sama dengan sifat makhluk. Makhluk punya sifat hidup, Allah juga punya sifat hidup. Namun kita sepakat bahwa hal tersebut tidak melazimkan sifat hidupnya Allah—yang Maha Sempurna—sama dengan sifat hidupnya makhluk. Demikian juga sifat Allah yang berada di atas ‘Arsy-Nya, tentu tidak bisa dibayangkan sama dengan seorang Raja (baca: makhluk) yang tengah berada di atas singgasananya. Maha Suci Allah dari serupa dengan makhluk-Nya.

Orang-orang yang menolak sifat Istiwaa’ Allah, tanpa sadar telah dipenjara oleh labirin pemikirannya sendiri; bahwa “jika Allah di atas ‘Arsy, berarti Allah menempati ruang, atau dilingkupi oleh ruang, atau ‘Arsy lebih besar daripada Allah, atau Allah butuh untuk duduk di atas ‘Arsy.” Pemikiran seperti ini diawali oleh pengembaraan akal yang terlalu lancang dan berani. Apa hak akal untuk memikirkan hakikat dan kaifiyyah (bagaimana) sifat Allah..?? Memikirkan hakikat “ruh” saja, akal tak sanggup. Padahal “ruh” adalah makhluk. Maka apalagi hakikat Allah, Sang Pencipta ruh itu sendiri…?? Akhirnya akal yang lancang ini jatuh dalam kubangan tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan sifat makhluk), lalu ia berusaha membersihkan dirinya dari kubangan tersebut namun justru dengan menceburkan diri ke dalam kubangan ta’thil (penolakan sifat Allah).

Renungkanlah ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat: 728-H) berikut ini, kita akan bisa memahami bahwa ungkapan Allah fis-Samaa’ bukan berarti Allah berada di dalam ruang langit (melainkan di atasnya). Sekaligus, kita juga akan mengetahui bahwa tuduhan musyabbihah yang sering dialamatkan kepada beliau adalah tuduhan yang tak berdasar:

السلف والأئمة وسائر علماء السنة إذا قالوا “إنه فوق العرش، وإنه في السماء فوق كل شيء “لا يقولون إن هناك شيئا يحويه، أو يحصره ، أو يكون محلا له ، أو ظرفا ووعاء ، سبحانه وتعالى عن ذلك، بل هو فوق كل شيء ، وهو مستغن عن كل شيء ، وكل شيء مفتقر إليه ، وهو عالٍ على كل شيء ، وهو الحامل للعرش ولحملة العرش بقوته وقدرته ، وكل مخلوق مفتقر إليه، وهو غني عن العرش وعن كل مخلوق “

“Para Salaf, imam-imam dan ulama sunnah, manakala mereka mengungkapkan; ‘Allah berada di atas ‘Arsy’, dan Dia di langit di atas segala sesuatu’, maka mereka tidak memaksudkan—dengan ungkapan tersebut—bahwa ada sesuatu yang meliputi-Nya, atau membatasi-Nya, atau menjadi tempat bagi-Nya dan menampung-Nya, Maha Suci Allah dari sifat yang demikian. Namun Dia berada di atas segalanya. Dia tidak butuh pada segala sesuatu. Justru segala sesuatu butuh kepada-Nya. Dia Maha Tinggi di atas segala sesuatu. Dialah yang—sebenarnya—menopang ‘Arsy dan malaikat-malaikat pemikul ‘Arsy dengan kekuatan-Nya dan kemampuan-Nya. Segenap makhluk membutuhkan-Nya. Dia tidak butuh kepada ‘Arsy, tidak pula segenap makhluk.” [Majmu’ al-Fatawa: 16/100-101]

Inilah aqidah ahlussunnah yang sejati. Adapun aqidah Asy’ariyyah—khususnya generasi yang belakangan—, mereka justru menolak sifat Allah atau menakwilkannya kepada makna yang lain tanpa dalil atau qorinah yang kuat. Dan sangat disayangkan, Ust. Somad hafizhahullah justru mengkampanyekan aqidah semacam ini. Tidakkah Ust. Somad hafizhahullah sadar bahwa ulama Asy’ariyyah mutaqaddimin (yang terdahulu) justru mengakui Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya…?? Sebagaimana yang diakui oleh pembesar mazhab Asy’ary tempo dulu; Abu Bakr al-Baqillani (wafat: 402-H) dalam kitabnya at-Tamhid..?? [lih. Sabilu ar-Rasyad: 5/241, Muhammad Taqiyuddin al-Hilali, Ta’liq: Masyhur Hasan Salman]

Dalam al-Jawahir al-Kalamiyyah (hal. 13), Syaikh Thahir rahimahullah dengan tegas mengakui bahwa makna Istiwaa’ sebagaimana yang beliau paparkan (tanpa tasybih, takyif dan takwil), adalah pemahaman para salaf. Beliau mengatakan:

ينسب ذلك إلى جمهور السلف. وأما الخلف فأكثرهم يفسرون الإستواء باستيلاء…

“Pemahaman (tentang Istiwaa’) yang demikian, dinisbatkan kepada mayoritas salaf. Adapun generasi khalaf (yang belakangan), kebanyakan mereka menafsirkan Istiwaa’ dengan makna Istaulaa (berkuasa)…”

Kemudian beliau (Syaikh Thahir al-Jazairi rahimahullah) menegaskan:

مذهب السلف أرجح لأنه أسلم وأحكم

“Mazhab Salaf dalam masalah ini lebih kuat, karena ia lebih selamat dan lebih tepat.” [al-Jawahir al-Kalamiyyah, hal. 14]

Kendati sayang, Syaikh Thahir rahimahullah pada akhirnya membolehkan mazhab takwil dalam masalah ini pada kondisi darurat, manakala dikuatirkan sebagian orang akan beranggapan adanya tasybih jika (sifat Istiwaa’ tersebut) tidak ditakwil. [hal. 14-15]. Namun paling tidak, apa yang diungkapkan oleh Syaikh Thahir al-Jazairi al-Asy’ary, bisa mengurai kesalahpahaman orang-orang yang mentakwil makna Istiwaa’ hanya karena beranggapan hal tersebut melazimkan tasybih.

* * *

Akhir kata, artikel ini semata-mata ingin mengungkapkan fakta yang sesungguhnya tentang model aqidah Asy’ariyyah yang diusung oleh Ust. Somad hafizhahullah, bahwasanya pendapat Ust. Somad justru bertentangan dengan tokoh-tokoh Asya’iroh terdahulu, termasuk Imam Abul Hasan al-Asy’ary yang dinisbatkan kepadanya aqidah takwil secara keliru oleh Ust. Somad. Pendapat Ust. Somad dalam masalah Istiwaa’, berseberangan dengan prinsip Rasulullah dan para Sahabatnya, tidak sesuai dengan pendapat as-Salaf as-Shalih, pendapat Imam mazhab yang empat, dan imam-imam ahlussunnah lainnya. Di samping itu, artikel ini juga berharap agar para pembaca tidak mengikuti kesalahan seorang figur yang keliru dalam masalah aqidah. Karena kekeliruan dalam masalah aqidah, sangatlah fatal, terlebih jika itu menyangkut aqidah kita tentang Allah.

Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang berkata tentang Allah tanpa ilmu. Sebab, dosanya begitu mengerikan, bahkan lebih berat dari dosa kesyirikan. Sebagaimana firman Allah:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلْإِثْمَ وَٱلْبَغْىَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَـٰنًۭا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui“. [QS. Al-A’raf: 33].

Wallahu a’lam bish-shawab. Selain kesalahan diatas, Ustadz Abdul Somad mempunyai beberapa kesalahan lain yang yang juga telah diluruskan silakan baca pada link berikutnya.


Silakan membaca fakta menarik berikutnya tentang Ustadz Dr. Firanda Andirja pada link dibawah.

Mengkeramik Kuburan Terlarang, Mengapa?

Mengapa di dalam ajaran Islam dilarang mengkeramik/mengaci/menyemen/mengkijing kuburan? Karena terdapat banyak dalil yang menunjukkan larangan mengkijing kuburan. Diantaranya,


Pertama, keterangan Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Abul Hayyaj al Asadi mencriakan bahwa Ali bin Abi Tholib berpesan kepadanya, “Saya mengutusmu dengan membawa misi yang pernah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampaikan kepadaku, yaitu jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 969).

Kedua, keterangan dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan membuat bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970).

Keterangan:

Termasuk bentuk ‘membuat bangunan di atas kuburan’ adalah mengkijing kuburan atau membuat cungkup di atas kuburan.

Keterangan Imam as-Syafii & Ulama Syafiiyah

Dalam kitab al-Umm, Imam as-Syafii mengatakan,

وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ وَلَيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ولم أَرَ قُبُورَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ مُجَصَّصَةً

Saya menyukai agar kuburan tidak diberi bangunan di atasnya dan tidak pula disemen (di-aci). Karena semacam ini sama dengan menghias kuburan dan berbangga dengan kuburan. Sementara kematian sama sekali tidak layak untuk itu. Dan saya juga melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar, kuburan mereka tidak disemen. (al-Umm, 1/277)

Imam as-Syafii rahimahullah juga menceritakan sikap para penguasa ketika itu,

وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك

Saya melihat para penguasa menghancurkan kijing dan cungkup yang ada di kuburan di Mekah, dan saya tidak mengetahui adanya satupun ulama yang mengingkari perbuatan mereka. (al-Umm, 1/277)

Imam Nawawi – ulama Syafiiyah – mengatakan,

أَنَّ السُّنَّةَ أَنَّ الْقَبْرَ لَا يُرْفَعُ عَلَى الْأَرْضِ رَفْعًا كَثِيرًا وَلَا يُسَنَّمُ بَلْ يُرْفَعُ نَحْوَ شِبْرٍ وَيُسَطَّحُ وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ

“Yang sesuai ajaran Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kubur itu tidak ditinggikan dari atas tanah, yang dibolehkan hanyalah meninggikan satu jengkal dan hampir dilihat rata dengan tanah. Inilah pendapat dalam madzbab Syafi’i dan yang sepahaman dengannya.” (Syarh Shahih Muslim, 7/35).

Imam Nawawi di tempat lain juga menegaskan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ كَرَاهَةُ تَجْصِيصِ القبر والبناء عيه وَتَحْرِيمُ الْقُعُودُ وَالْمُرَادُ بِالْقُعُودِ الْجُلُوسُ عَلَيْه

“Terlarang memberikan semen pada kubur, dilarang mendirikan bangunan di atasnya dan haram duduk di atas kubur.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 37).

Keterangan al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan al-Ghayah wa at-Taqrib, beliau menyatakan,

ويسطح القبر ولا يبني عليه ولا يجصص

“Kubur itu diratakan, tidak boleh dibangun kijing atau cungkup di atasnya dan tidak boleh kubur tersebut disemen (di-aci).” (Mukhtashor Abi Syuja’, hlm. 83).

Allahu a’lam.

oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Perbedaan Salafi dengan Khawarij-Takfiri

Sebenarnya, apa yang membedakan antara Salafi, Wahabi, Aliran Khawarij? Benarkah ketiganya adalah hal yang sama atau jelas-jelas berbeda? Disini kami akan membahas ciri-ciri dan perbedaan mendasar antara Salafi dengan Khawarij dalam sebuah infografis.

FAKTA 10: TIDAK SUKA MENGKAFIRKAN

Ustadz Salafi/Rodja seringkali difitnah oleh Syi'ah sebagai Ustadz yang suka mengkafirkan orang. Mereka (Syi’ah) yang mengatakan Salafi adalah Takfiri bertujuan untuk mengadu domba umat Islam di Indonesia. Media-media dan orang awam juga sering salah memahami arti dari Salafi. Oleh karenanya, dalam infografis ini kami juga akan melengkapinya dengan contoh tokoh-tokoh Salafi dan tokoh-tokoh jihadi khawarij di zaman sekarang.

Akibatnya, banyak yang mengatakan bahwa Ulama Salafi seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah takfiri. Padahal, tuduhan tersebut sama sekali tidak terbukti dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri yang membantah dengan berkata, “Adapun yang diceritakan oleh musuh-musuh tentang saya, bahwa saya menjatuhkan vonis kafir berdasarkan perasangka, dan berdasarkan muwalah (loyalitas, maksudnya jika ada orang yang tidak membela syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka dihukumi kafir-pen), atau aku mengkafirkan orang yang jahil (bodoh; tidak berilmu) yang belum tegak hujjah padanya, maka ini kedustaan (fitnah) yang besar.” [Maj'mu Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, 3/14]

Salafi dan Khawarij Takfiri
Klik gambar untuk memperbesar!

Kelompok teroris dan Khawarij sangat membenci dengan tersebar luasnya poster di atas ini ke masyarakat luas. Bahkan, mereka mengkritisinya dan menuduh poster ini sesat karena tidak sesuai dengan pemahaman dan cara beragama mereka. Penyebabnya adalah karena Aqidah mereka dengan Aqidah Salafi sangat berbeda jauh. Disamping itu, poster ini dapat memudahkan masyarakat untuk mengetahui penceramah/tokoh-tokoh/ulama Jihadi Takfiri dan mana yang bukan. Mari kita dukung Pemerintah dalam memberantas pemahaman terorisme dan jaga keluarga kita dari aqidah sesat.

Matahari Mengelilingi Bumi dalam Islam dan Al Qur'an?


Benarkah salaf mengatakan matahari mengelilingi bumi? Lalu, bagaimana pendapat yang mengatakan bumi mengelilingi matahari? Kita kupas lebih mendalam.

Ada beberapa catatan yang bisa kita berikan terkait perselisihan ini,

Pertama, perlu kita bedakan pendekatan yang dilakukan para ulama dengan pendekatan yang dilakuan para ahli fisika. Para ulama membahas ini, melalui pendekatan tafsir al-Quran dan sunah. yang bisa jadi berbeda dengan teori yang disampaikan fisikawan.

Sebaliknya, para fisikawan menggunakan pendekatan empiris untuk menemukan teori tentang tata surya. Yang bisa jadi juga berbeda dengan hasil kesimpulan para ulama dalam menafsirkan al-Quran dan hadis.

Intinya, kita dudukkan pendekatan sesuai porsinya.

Kedua, para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam menetapkan antara heliosentris dan geosentris.

Baik pendapat pertama maupun kedua, semuanya ijtihad terhadap dalil dari al-Quran.

Sebagian mengatakan, geosentris lebih benar. karena ini yag lebih sesuai sharih al-Qur’an (makna tekstual al-Quran). Diantara ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah,

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا

Matahari beredar di garis orbitnya. (QS. Yasin: 38)

Dan beberapa ayat lainnya. Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 18647, 9247, dan 15255. Lajnah Daimah bahkan mewajibkan siapapun untuk meninggalkan teori heliosetris. Karena itu hanya teori dan tidak sesuai dengan makna teks al-Quran.

Demikian pula ini pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin. (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin, VI/102/21).

Sementara itu, Syaikh al-Albani berpendapat yang lebih tepat heliosentris. Ini lebih mendekati hasil penelitian empiris. Kemudian beliau menjawab mengenai tafsir surat yasin ayat 38 di atas, yang itu menjadi salah satu dalil utama geosentris. Syaikh al-Albani menyatakan,

Bahwa di surat Yasin, Alah menyebutkan beberapa tanda kekuasaan-Nya,

Di ayat 33 – 36, Allah berbicara tentang bumi.
Di ayat 37 dan 38, Allah berfirman tentang matahari.

Di ayat 39 dan bagian awal ayat 40, Allah berbicara tentang bulan.

Kemudin di akhir ayat 40, Allah berfirman,

وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

Dan semuanya beredar di alam semesta. (QS. Yasin: 40).

Kemudian Syaikh al-Albani menyimpulkan, bahwa kata ‘semua’ lebih dekat jika kita berlakukan untuk bumi, matahari, dan bulan. Sehingga semuanya berputar. (Silsilah al-Huda wa an-Nur, volume 1/497).

Mengenai perbedaan pendapat ini, anda bisa simak di: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=319853

Ketiga, bahwa Al Quran dan As Sunnah tidak akan pernah bertentangan dengan realita. Meskipun tidak semua realita disebutkan dalamAl Quran dan As Sunnah. Terutama realita yang ada di alam. Karena Al Quran dan As Sunnah bukan kitab biologi atau referensi ilmu pengetahuan alam.

Salah satu contoh kejadiannya, hadis dari Thalhah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para sahabat untuk mengawinkan kurma. Akibatnya gagal panen. Ketika berita ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّمَا هُوَ ظَنٌّ ظَنَنْتُهُ، إِنْ كَانَ يُغْنِي شَيْئًا فَاصْنَعُوا، فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، وَالظَّنُّ يُخْطِئُ وَيُصِيبُ، وَلَكِنْ مَا قُلْتُ لَكُمْ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلَنِ أكْذِبَ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Ini hanya dugaan saya. Jika itu bermanfaat, silahkan lakukan. Saya manusia biasa seperti kalian, dugaannya bisa benar bisa salah. Namun apa yang aku sampaikan jika itu dari Allah, sama sekali saya tidak akan berdusta atas nama Allah. [HR. Ahmad 1399 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth].

Masalah mengawinkan kurma, bukan ranah syariat. sehingga kembali kepada bukti empiris yang dimiliki manusia. sekalipun tidak dibimbing wahyu, mereka bisa memahaminya.

Keempat, tujuan besar Allah menyebutkan alam semesta dalam Al Quran adalah untuk mengajak manusia agar semakin mengagungkan Allah. karena itu, sebelum Allah menyebutkan kejadian alam semesta, Allah berfirman,


وَآَيَةٌ لَهُمُ

Ayat (tanda kekuasaan Allah) untuk mereka…

Allah juga berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap (QS. al-Baqarah: 21-22)

Tentu saja, tujuan utama ayat kauniyah disebutkan dalam al-Quran, bukan untuk referensi ilmu pengetahuan alam, apalagi untuk membuat polemik atau perbedaan pendapat diantara para hamba.

Karena itu, sikap yang lebih kita kedepankan ketika membaca ayat-ayat semacam ini adalah pengagungan kepada Allah, Penciptanya. Sekalipun bisa jadi, detail dari ayat kauniyah itu tidak kita ketahui, dan tidak selayaknya kita gali.

Kelima, Allah mengajarkan dalam al-Quran, agar perselisihan yang belum jelas kebenarannya, tidak terlalu disikapi serius. Terutama untuk masalah yang tidak menambah keimanan seseorang.

Perselisihan memang tidak bisa dihindari. Tapi posisikan hanya perselisihan lahir saja, tidak sampai menjadi sumber perdebatan.

Allah contohkan perselisihan manusia tentang jumlah ashabul kahfi. Ada yang mengatakan, 3 orang, 4 bersama anjingnya. Ada yang mengatakan 5 orang, 6 bersama anjingnya, dan ada yang mengatakan 7 orang, 8 bersama anjingnya. Angka berapapun yang dipilih, tidak ada kaitannya dengan ketaqwaan. Seseorang tidak lebih bertaqwa, ketika dia meyakiin jumlahnya 3, atau 5, atau 7.

Dilanjutan ayat Allah mengajarkan,

قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا

Katakanlah: “Rabku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu janganlah kamu (Muhammad) berdebat tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahir saja. (QS. al-Kahfi: 22)

Dalam ayat ini, Allah mengajarkan, bahwa perbedaan pendapat untuk masalah yang belum terlalu jelas, dan permasalahan itu tidak menambah keimanan seseorang, ada 2 hal yang bisa dilakukan,

[1] Kembalikan ilmunya kepada Allah. katakan, “Allah yang paling tahu kebenarannya.”

[2] Posisikan perselihan ini hanya bersifat lahir saja. Jangan sampai terlalu diseriusi.

(Tafsir al-Kahfi, Ibnu Utsaimin)

Terlepas dari perbedaan ulama dalam masalah Heliosentris atau Geosentris, keduanya tidak memiliki hubungan dengan ketaqwaan. Seseorang tidak menjadi semakin bertaqwa hanya karena dia memihak geosentris dan sebaliknya.

Keenam, dalam teori fisika, baik matahari maupun bumi, keduanya bukan pusat alam semesta (universe). Sehingga, baik bumi maupun matahari, beserta seluruh benda langit lainnya, bergerak mengitari pusat alam semesta.

Sehingga teori heliosentris, yang menyatakan, pusat alam semesta adalah matahari. Dan teori geosentris, yang menyatakan, pusat alam semesta adalah bumi, keduanya tidak seutuhnya benar. Karena keduanya bukan pusat alam semesta.

Dalam teori relativitas, tidak salah ketika kita menyatakan,

“Menurut saya yang ada di bumi, matahari bergerak mengelilingi bumi.”

Sebagaimana ketika anda di dalam mobil menyatakan, bahwa pohon yang ada di luar bergerak ke belakang. Hanya saja, untuk kasus mobil dan pohon, manusia bisa langsung bisa menyimpulkan mana yang sebenarnya bergerak dan mana yang gerakannya semu.

Sementara untuk kasus matahari dan bumi, perlu perjuangan sangat panjang untuk membuktikan secara empiris, mana yang sebenarnya bergerak dan mana yang gerakannya semu.

Jika kita mengesampingkan hubungan dengan tata surya lain dan bintang-bintang lain, kita menyimpulkan bahwa baik matahari maupun bumi, keduanya berputar mengelilingi pusat keduanya. Mengingat massa matahari benar-benar jauh lebih besar dibandingkan bumi, maka fisikawan menyimpulkan, bumi tampak mengelilingi matahari. Karena benda akan mengelilingi pusat massanya.

Kita kembalikan semua ilmunya kepada Allah, Dzat yang menciptakan alam semesta besarta isinya. Dan dengan membaca ayat-ayat ini, semoga membuat kita lebih bisa mengagungkan Allah.

Allahu a’lam

oleh Ustadz Ammi Nur Baits