Kesalahan Aqidah Ustadz Adi Hidayat

Salah satu kesalahan yang sangat-sangat fatal (tidak bisa dianggap sepele) yang dilakukan oleh Ustadz Adi Hidayat adalah mentakwil sifat Nuzul Allah ta'ala. Sebab pemahaman yang seperti ini sangat jelas sekali bertentangan dengan Ushul Aqidah Ahlus Sunnah yang telah disepakati oleh seluruh Ulama.

Tulisan ini dimuat sebagai upaya meluruskan kesalahan karena banyak jamaah beliau adalah dari kalangan awam, notabene baru mengaji dan belum benar-benar mengetahui aqidah dan manhaj salafush shalih. Retorika bagi mereka lebih utama ketimbang benar salah kontennya. Dikhawatirkan mereka tidak bisa menyaring mana pendapat yang salah dan yang benar sehingga ikut meyakini aqidah yang jelas menyimpang. 

Oleh karenanya, Ustadz Dr. Firanda (Ulama Resmi Madinah) dan Ustadz Abul Jauzaa merasa bertanggungjawab sebagai sesama Muslim untuk menasihati dan meluruskan berbagai kesalahan yang telah dibuat oleh Ustadz Adi Hidayat. Berikut ini adalah kritikan beliau.


KESALAHAN 1: AQIDAH TAKWIL

Saat membawakan hadits nuzuul dalam video berjudul Selesai Shalat Tahajud, Apa yang Dicontohkan Rasulullah Hingga Salat Fajar? (durasi 01:25:14), Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah berkata (mulai menit 57:41):

Yanzilu rabbuna tabaaraka wa ta’ala – ini hadits qudsi - . Kata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Allah subhaanahu wa ta’ala. Kalimatnya menggunakan Rabb. Yanzilu Rabbunaa… saya agak pelan-pelan ya… Ada nazala, ada habatha. Ada nazala, ada habatha, itu lain. Baca Al-Baqarah ayat 36, eh 38 maaf. Al-Baqarah 38. Dimana Qur’annya ini ?... Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Qulna-hbithuu, ihbithu. Jadi turun itu ada habatha, ada nazala. Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Faimmaa ya’tiyannakum minnii hudaa dan seterusnya ayat. Perhatikan di sini.. Kenapa Adam ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, kalimatnya bukan menggunakan nazala, tapi menggunakan habatha. Qulna-hbithuu minhaa jamii’a. Perhatikan. Kalau habatha, turun dengan niat bermukim, dengan niat tinggal. Adam diturunkan ke bumi memang untuk tinggal di bumi. Menjadi khalifah di sana, memperbaiki keadaan bumi. Karena itu kalimat Qur’annya menggunakan habatha. Ini hebatnya bahasa Al-Qur’an. Setiap kalimatnya ada makna, bahkan hurufnya. Tapi subhaanallah, ketika menerangkan Allah yang turun ke langit dunia, tidak menggunakan kata habatha, tapi menggunakan kata nazala. Yanzilu Rabbunaa. Yanzilu. Nazala itu turun umumnya dengan tidak niat mukim. Cuma turun saja. Jangan digambarkan di kepala kita Allah turun. Bukan. Maksudnya Allah menurunkan rahmat-Nya. Sudah ada kebahagiaan yang akan diberikan. Allah tidak segambar, tidak terbayang oleh kita, dan tidak serupa dengan apa yang kita gambarkan. Artinya apa ? Kalimat ini mengandung mukjizat yang ingin disampaikan oleh Nabi, tidak menggambarkan, kalau Nabi berkata yahbithu Rabbuna, ini salah kalimat Nabinya, karena Allah tidak menempat, tidak mewaktu. Artinya apa, mohon maaf, tidak disifati dengan tempat dan sifat yang seperti kita menggunakannya. Kalimat nazala artinya, tidak turun untuk menempat, menggunakan isyarat ini, ada kesan dalam kalimat ini, gunakan manfaatnya, itu maksudnya, gunakan peluangnya. …….” (01:00:16).
[selesai].

Fokus pada kalimat yang dibold dan diwarnai merah. Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah ‘menafsirkan’ turunnya Allah ke langit dunia dengan turunnya rahmat, bukan turun dengan makna hakiki. Ini jelas menyelisihi ‘aqidah Ahlus-Sunnah, dan ta’wil semacam ini merupakan ciri khas penakwilan kelompok Asyaa’irah.

Al-Waliid bin Muslim rahimahumallah berkata:

سَأَلْتُ الأَوْزَاعِيَّ، وَالثَّوْرِيَّ، وَمَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، وَاللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ عَنِ الأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا الصِّفَاتُ؟ فَكُلُّهُمْ قَالَ: أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلا تَفْسِيرٍ

“Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’iy, Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, Al-Laits bin Sa’d tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat (Allah). Mereka semua berkata :
‘Perlakukanlah (ayat-ayat tentang sifat Allah) sebagaimana datangnya tanpa tafsir”

Dalam riwayat lain:
أمروها كما جاءت بلا كيف
“Perlakukanlah sebagaimana datangnya tanpa menanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyah-nya)” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/104-105, Ibnu Abi Haatim dalam Al-‘Ilal 5/468 no. 2118, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/377, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 930, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/149].

Perkataan tersebut merupakan penetapan terhadap hakekat sifat-sifat Allah ta’ala dan penafikan pengetahuan kita tentang kaifiyat-nya. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan salaf di atas:

فقولهم رضى الله عنهم أمروها كما جاءت رد على المعطلة وقولهم بلا كيف رد على الممثلة

“Perkataan mereka radliyallaahu ‘anhum : ‘perlakukanlah sebagaimana datangnya’ adalah bantahan terhadap sekte Mu’aththilah (= yang menafikkan sifat-sifat Allah), dan perkataan mereka : ‘tanpa menanyakan bagaimana’ adalah bantahan terhadap sekte Mumatstsilah (= yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 5/39].

Inilah prinsip Ahlus-Sunnah dalam permasalahan sifat-sifat Allah ta’ala.
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah menjelaskan lebih lanjut prinsip Ahlus-Sunnah tersebut dengan perkataannya:

أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود

“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) terhadap sifat-sifat tersebut. Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka (yang mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah merupakan golongan orang yang meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39].

Begitu juga dengan Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahumallah. Setelah membawakan perkataan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahumalla, ia berkata:

وعلى هذا دَرَجَ السَّلَفُ وأَئِمَّةُ الخَلَفِ، كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ على الإقْرارِ، والإمْرارِ والإثْباتِ لما وَرَدَ مِن الصِّفاتِ في كتابِ اللهِ وسُنَّةِ رسولِهِ، مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ لتأْوِيلِهِ

“Dan di atas dasar inilah, para salaf dan imam generasi khalaf setelahnya berjalan. Semuanya sepakat untuk menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan sifat-sifat Allah. Baik yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun Sunnah Rasul-Nya, tanpa berpaling untuk menta’wilkannya” [Lum’atul-I’tiqad dengan syarh : Shaalih Al-Fauzaan, hal. 57-58].

Di bawah akan sedikit saya bawakan nukilan/riwayat para imam Ahlus-Sunnah dalam memahami hadits nuzuul.

Ibnu Abi Zamaniin Al-Maalikiy rahimahullah berkata:

وأخبرني وهب [عن] ابن وضاح عن زهير بن عباد قال : كل من أدركت من المشايخ : مالك وسفيان وفضيل بن عياض وعيسى وابن المبارك ووكيع كانوا يقولون : [النزول] حق

Telah mengkhabarkan kepadaku Wahb, dari Ibnu Wadldlaah, dari Zuhair bin ‘Abbaad, ia berkata : “Setiap orang yang aku temui dari kalangan masyayikh seperti Maalik, Sufyaan (Ats-Tsauriy), Fudlail bin ‘Iyaadl, ‘Iisaa, Ibnul-Mubaarak, dan Wakii’; mereka mengatakan ‘an-nuzuul’ (turunnya Allah) adalah benar” [Ushuulus-Sunnah, hal. 113].

Abu Nashr As-Sijziy dalam kitab Al-Ibaanah berkata:

وأئمَّتنا كسفيان ومالكٍ والحمَّادَيْن وابن عيينة والفضيل وابن المبارك وأحمد بن حنبلٍ وإسحاق متَّفقون على أنَّ الله سبحانه فوق العرش وعلمُه بكلِّ مكانٍ، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا وأنه يغضب ويرضى ويتكلَّم بما شاء

“Dan para imam kita seperti Sufyaan (Ats-Tsauriy), Maalik (bin Anas), Hammaad bin Zaid dan Hammaad bin Salamah, Ibnu ‘Uyainah, Al-Fudlail (bin ‘Iyaadl), Ibnul-Mubaarak, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaaq (bin Rahawaih) bersepakat tentang perkara bahwasannya : Allah subhaanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat; turun ke langit dunia; serta marah, ridla, dan berbicara sebagaimana yang Ia kehendaki” [Al-Aatsaarul-Waaridah ‘an Aimmatis-Sunnah fii Abwaabil-I’tiqaad min Kitaab Siyari A’laamin-Nubalaa’, hal. 209].

Catatan : Riwayat yang mengatakan Maalik bin Anas menta’wilkan sifat nuzuul dengan turunnya perintah Allah sebagaimana disebutkan oleh ‘Iyaadl dalam Al-Madaarik (2/44), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (7/143), dan Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar (8/105) adalah lemah, karena ia berasal dari riwayat Habiib bin Abi Habiib, seorang yang matruuk, bahkan dituduh melakukan dusta [‘Aqiidah Al-Imaam Maalik As-Salafiyyah, hal. 33].

Abu Haniifah An-Nu’man bin Tsaabit rahimahullah ketika ditanya tentang turunnya Allah, ia menjawab:

ينزل بلا كيف

“Allah turun tanpa ditanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyat-nya)” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 44].

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata dalam ‘Aqiidah-nya dan wasiatnya:

القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت أهل الحديث عليها: أن الله على عرشه في سمائه، يقرب من خلقه كيف شاء، وينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء.

“Pendapat dalam sunnah yang aku berada di atasnya dan aku juga melihat ahli-hadits berada di atasnya : Bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, mendekat kepada makhluk-Nya sebagaimana yang Ia kehendaki dan turun ke langit dunia sebagaimana yang Ia kehendaki” [Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy no. 15].

Abu ‘Aliy Hanbal bin Ishaaq rahimahumallah berkata:

قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ يَنْزِلُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: نُزُولُهُ بِعِلْمِهِ أَمْ بِمَاذَا ؟ قَالَ: فَقَالَ لِي: اسْكُتْ عَنْ هَذَا، وَغَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: مَا لَكَ وَلِهَذَا؟ أَمْضِ الْحَدِيثَ كَمَا رُوِيَ بِلا كَيْفٍ

“Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) : ‘Allah ta'ala turun ke langit dunia ?’. Ia menjawab : "Benar". Aku berkata : "Turun-Nya itu dengan ilmu-Nya atau dengan apa ?". Ia berkata kepadaku : "Diamlah engkau dari hal ini". Ia sangat marah (akibat pertanyaanku itu). Ia berkata : "Apa urusanmu tentang hal itu ?. Tetapkanlah hadits itu sebagaimana yang diriwayatkan tanpa menanyakan bagaimana" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah. Dibawakan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 777 dan Abu Ya’laa dalam Ibthaalut-Ta’wiilaat 2/260 no. 260].

Ad-Daaraquthniy rahimahullah menulis kitab khusus berjudul An-Nuzuul yang diawali dengan perkataannya:

ذِكْرُ الرِّوَايَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيُعْطِي السَّائِلِينَ.

“Penyebutan riwayat dari Nabi ﷺ bahwasannya Allah tabaraka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia, mengampuni orang-orang yang memohon ampunan (kepada-Nya) dan memberi orang-orang yang meminta (kepada-Nya)” [An-Nuzuul hal. 87-88 – yang dicetak bersama kitab Ash-Shifaat].
Ad-Daaraquthniy rahimahullah menetapkan sifat nuzuul dan tidak menta’wilkannya dengan ‘rahmat’ atau yang lainnya.

Muhammad bin Husain Al-Aajurriy rahimahullah berkata:

الإيمان بهذا واجب، ولا يسع المسلم العاقل أن يقول: كيف ينزل؟ ولا يرد هذا إلا المعتزلة وأما أهل الحق فيقولون: الإيمان به واجب بلا كيف، لأن الأخبار قد صحت عن رسول الله ﷺ: أن الله عَزَّ وَجَلَّ ينزل إلى السماء الدنيا كل ليلة والذين نقلوا إلينا هذه الأخبار هم الذين نقلوا إلينا الأحكام من الحلال والحرام، وعلم الصلاة، والزكاة، والصيام، والحج، والجهاد، فكما قبل العلماء عنهم ذلك كذلك 
قبلوا منهم هذه السنن، وقالوا: من ردها فهو ضال خبيث، يحذرونه ويحذرون منه

“Beriman terhadap hal ini (turunnya Allah ke langit dunia) adalah wajib, dan tidak boleh bagi muslim yang berakal untuk mengatakan : bagaimana Allah turun ?. Tidak ada yang menolak ini kecuali Mu’tazilah. Adapun ahlul-haq (Ahlus-Sunnah) mengatakan : Beriman kepada wajib tanpa menanyakan bagaimana (kaifiyah-nya), karena telah shahih khabar-khabar dari Nabi ﷺ bahwasannya Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia setiap malam. Dan orang-orang yang meriwayatkan khabar-khabar ini kepada kita adalah orang-orang yang meriwayatkan hukum-hukum halal dan haram, serta ilmu tentang shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad. Maka sebagaimana para ulama menerima dari mereka hal tersebut, begitu para ulama juga menerima dari mereka Sunnah-sunnah ini. Mereka (ulama) berkata : ‘Barangsiapa yang menolaknya, maka ia sesat lagi busuk’. Mereka mentahdzir mereka dan pemikiran mereka” [Asy-Syarii’ah, 2/93].

Ma’mar bin Ahmad bin Ziyaad Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:

وينزل كل ليلة إلى السماء الدنيا كيف شاء بلا كيف ولا تأويل، فمن أنكر النزول أو تأول فهو ضال مبتدع

“Dan Allah turun pada setiap malam ke langit dunia tanpa ditanyakan ‘bagaimana’ (kaifiyatnya) dan tanpa ta’wiil, sebagaimana yang Ia kehendaki. Barangsiapa yang mengingkari turunnya Allah atau mena’wilkannya, maka ia sesat lagi mubtadi’” [Al-‘Arsy oleh Adz-Dzahabiy 2/349].

Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah berkata:

والصواب ما قاله السلف الصالح من الإيمان بالنزول وإمرار النصوص كما وردت من إثبات النزول لله سبحانه على الوجه الذي يليق به، من غير تكييف ولا تمثيل، كسائر صفاته. وهذا هو الطريق الأسلم، والأقوم، والأعلم، والأحكم، فتمسك به، وعض عليه بالنواجذ، واحذر ما خالفه تفز بالسلامة، والله أعلم.

“Dan yang benar adalah apa yang dikatakan as-salafush-shaalih yang mengimani an-nuzuul (turunnya Allah ke langit dunia), memperlakukan nash-nash sebagaimana datangnya yang menetapkan sifat turun (an-nuzuul) bagi Allah subhaanahu wa ta’ala dengan cara yang layak bagi-Nya : tanpa takyiif dan tamtsiil, seperti seluruh sifat-sifat-Nya. Inilah jalan yang paling selamat, paling lurus, paling sesuai, dan paling hikmah/bijaksana. Berpegang-teguhlah dengannya, gigitlah ia dengan gigi geraham, dan tahdzirlah orang yang menyelisihinya. Semoga engkau memperoleh keselamatan, wallaahu a’lam” [Manhaju Al-Haafidh Ibni Hajar Al-‘Asqalaaniy fil-‘Aqiidah, hal. 792].
Dan masih banyak lagi…

Seandainya berdasarkan penilaian ‘beberapa tokoh’ apa yang disampaikan Ustadz Adi adalah benar dan tidak ada kesalahan/penyimpangan, mungkin statement para imam di atas lah yang salah. Tapi secara pribadi, saya sangat berat dan keberatan untuk mengatakannya. Mohon dimaafkan.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Kami juga mendapati kesalahan berikutnya, silakan baca artikel kami berikutnya.