Buya Hamka Menyikapi Orang Tua Nabi dan Tahlilan

FAKTA 13: HADIT DHA'IF

Buya Hamka berpendapat sesuai dengan pendapat Ulama Salafi bahwa hadits yang lemah tidak bisa dijadikan dalil atau hujjah. Beliau berkata:

"Kalau sudah dijadikan anjuran kepada orang, tidaklah dapat hadits-hadits dhaif itu dijadikan dalil, atau hadits dhaif tidak boleh jadi hujjah."

Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 369, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

FAKTA 14: TAHLILAN DAN YASINAN

Masalah ritual Tahlilan dan Yasinan sudah sejak lama dikritik oleh Buya Hamka. Bagi Buya Hamka yang mengadopsi ajaran Islam yang Murni/Salafiyyah, hal ini jelas tidak ada ajarannya dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.  Buya Hamka berkata:

"Pembacaan surah Yasin untuk orang yang telah meninggal pun tidak ada ajaran yang sah dari Nabi. Ajaran yang ada hanyalah anjuran membacakan surah Yasin kepada orang yang hendak meninggal, agar terasa olehnya betapa perpindahan hidup dari alam fana ini ke dalam alam baqa', bahwasanya yang akan menyelamatkan kita di akhirat hanyalah amalan kita semasa hidup. Namun demikian, hadits anjuran membaca surah Yasin bagi orang yang akan meninggal itu pun termasuk hadits dha'if pula, tidak boleh dijadikan hujjah buat amal. Setelah nenek-moyang kita memeluk agama Islam, belumlah hilang sama sekali kepercayaan animisme itu, sehingga berkumpul-kumpullah orang di rumah orang kematian pada hari-hari yang tersebut itu, Sebagai warisan zaman purbakala, cuma diganti mantra-mantra cara lama dengan membaca Al-Qur'an, terutama surah Yasin."

Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 408, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

Buya Hamka

FAKTA 15: TIDAK BOLEH FANATIK MAZHAB

Buya Hamka adalah Ulama yang mengikuti Mazhab Syafi'i, namun beliau tidak fanatik kepada mazhab tersebut. Beliau mengajarkan prinsip ajaran Salafi yang berpesan bahwa tidak boleh terpaku dan fanatik hanya pada satu mazhab fikih. Beliau berkata:

"Ahli-ahli Fiqih sendiri selalu mengatakan bahwa ijtihad itu tidaklah yakin kebenarannya, melainkan zhan, artinya boleh ditinjau kembali, "kalau sesuai dengan sumber aslinya (Al-Qur'an dan hadits) boleh diakui terus, dan kalau tidak haruslah segera ditinggalkan dan dibuang." Demikian pesanan dari pelopor-pelopor mujtahid yang terdahulu seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali."

Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 222-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

FAKTA 16: STATUS AYAH DAN IBU NABI

Buya Hamka mengutip pendapat Ulama Salafiyyah yang mengatakan Ayah dan Ibu Nabi meninggal dalam keadaan kafir. Buya Hamka melakukan pembelaan terhadap Ulama Salafiyyah karena banyaknya tuduhan yang beredar bahwa Ulama Salafiyyah tidak mempunyai adab kepada Nabi karena menganggap orang tua Nabi kafir. Buya Hamka berkata:

"Padahal ada hadits Rasulullah saw. sendiri yang dirawikan oleh Muslim dalam shahihnya dari hadits Anas bin Tsabit bahwa seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah saw., "Di mana ayahku, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Di neraka!" Setelah orang yang bertanya itu berdiri hendak pergi, dia dipanggil oleh Rasulullah saw. dan beliau bersabda,"Sesungguhnya bapakku dan bapak engkau di neraka!" (HR. Muslim).

Lalu ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam syarahnya, "Di sini jelas bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir maka masuk nerakalah dia dan tidaklah bermanfalat baginya karena kerabat (kekeluargaan). Dan di dalam hadits ini pun dapat dipahamkan bahwa orang yang mati dalam zaman fitrah dalam keadaan apa yang dipegang oleh orang Arab, menyembah berhala, dia pun masuk neraka. Dan ini tidaklah patut diambil keberatan yang mengatakan bahwa belum sampai kepada mereka dakwah karena kepada mereka sudahlah sampai dakwah Ibrahim dan Nabi-nabi yang lain. Dan Nabi saw. mengatakan ayahku dan ayahmu dalam neraka, ialah untuk menunjukkan pergaulan yang baik dan pengobat hati yang bertanya karena sama-sama dalam menderita sedih."

Demikian syarah (komentar) Imam Nawawi. "Memohon izin aku kepada Tuhanku hendak memintakan ampun untuk ibu, tetapi tidak diberi izin kepadaku. Lalu aku mohon izin hendak menziarahi kuburnya lalu aku diberi izin." (HR. Muslim). Malahan dalam hadits yang lain diterangkan bahwa beliau sampai menangis di kubur itu dan memberi anjuran umatnya supaya ziarah ke kubur untuk mengingat mati. Maka dengan hadits-hadits yang shahih ini tetaplah ada yang berpegang teguh bahwa ayah dan bunda Nabi itu mati belum dalam Islam, apalagi ayah Nabi Ibrahim. Akan tetapi, golongan ulama-ulama Salaf walaupun yang berpegang teguh pada hadits-hadits yang shahih itu sendiri, tidaklah kurang hormat mereka kepada Rasul dalam hal yang berkenaan dengan ibu bapak dan keluarga beliau, walaupun yang mati belum dalam Islam sebagaimana Abu Thalib.

Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 190-192, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.